EKSEKUTIF.id — Universalitas sangsi untuk perkara penyalah guna narkotika mengalami perubahan secara menyeluruh setelah; Konvensi Tunggal Narkotika 1961.
Sudah diamandemen, dengan protokol 1971, bahwa penyalahguna yang semula diberikan sangsi penjara, diganti menjadi sangsi alternatif selain sangsi penjara.
Protokol 1971 yang merubah konvensi tunggal narkotika 1961 juga memperkenalkan jenis sangsi baru, yaitu: “Sangsi rehabilitasi yang berlaku secara global.”
Perubahan jenis sangsi penjara, menjadi sangsi selain penjara didasarkan pengalaman penegakan hukum universal terhadap perkara penyalahguna narkotika bahwa:
Pertama, penyalahguna adalah pelanggar hukum.
Dimana, pelakunya dalam keadaan sakit ketergantungan narkotika kronis dan sakit gangguan mental kejiwaan sehingga kalau diberi sangsi penjara tidak bermanfaat dan tidak menyelesaikan masalah.
Kedua, penyalahguna kalau dijatuhi sangsi penjara justru menimbulkan residivisme dan meningkatnya penyalahgunaan narkotika.
Perubahan jenis sangsi tersebut, menjadi titik tolak berlakunya sangsi bagi penyalah guna narkotika di seluruh dunia disesuaikan dengan yuridiksi masing masing negara.
Jenis sangsi rehabilitasi, diyakini oleh negara negara termasuk Indonesia yang menandatangi konvensi tunggal narkotika 1961.
Dan, protokol yang merubahnya sebagai jenis sangsi alternatif yang paling bermanfaat, berfungsi menyehatkan dan memulihkan seperti kondisi semula.
Konsep Berbeda, Sangsinya Sama.
Secara global, konsep rumusan penyalahguna narkotika berbeda sesuai yuridiksi masing masing negara. Namun, bentuk sangsinyanya sama, yaitu di luar sangsi penjara.
Di Eropa, khususnya negara negara yang tergabung dalam Uni eropa; secara de jure konsep kepemilikan narkotika untuk digunakan sendiri dilarang: Namun, tidak masuk yuridiksi peradilan pidana sehingga sangsinya di luar sangsi penjara.
Kepemiliikan narkotika jumlah terbatas untuk dikonsumsi sendiri masuk dalam yuridiksi peradilan administrasi. Sehingga secara de facto, tidak ada satu negara pun di lingkungan Uni Eropa yang menahan dan menghukum penjara para penyalahguna narkotika.
Hanya kepemilikan narkotika, dengan jumlah besar melebihi jumlah kepemilikan yang ditentukan untuk dikonsumsi sendiri tergolong pengedar, masuk yuridiksi peradilan pidana. Ini yang dikenakan penahanan dan dijatuhi hukuman penjara.
Sebagai contoh, Portugal.
Sebagai negara di Eropa, dalam negara Portugal disebutkan kepemilikan narkotika ketika ditangkap jumlah barang bukti narkotikanya kurang dari sepuluh hari pemakaian tergolong pernyalahguna, bila lebih dari sepuluh hari pemakaian tergolong pengedar.
Artinya di Portugal, kepemilikan narkotika yang jumlahnya 10 kali lipat jumlah kepemilikan di Indonesia, berdasarkan SE Mahkamah Agung no 4 tahun 2010 masih digolongkan sebagai penyalah guna.
Penyalahguna ini secara de facto oleh pengadilan Portugal, dijatuhi hukuman di luar sangsi penjara yaitu sangsi admistrasi dan atau hukuman rehabilitasi.
Prinsipnya, seluruh kawasan Uni Eropa tidak ada satu negarapun, secara de jure mengkriminalkan para penyalahguna dan secara defacto juga tidak memberi sangsi pidana kepada penyalah guna narkotika.
Di Amerika Serikat, penyalah guna secara de jure adalah pelaku kriminal namun penyalah guna secara de facto diberikan sangsi berupa rehabilitasi.
Sangsi rehabiltasi diberikan melalui drug court yaitu sistem pengadilan khusus untuk menjaga penyalahguna narkotika tidak ditahan dan dihukum penjara.
Drug court juga diberi kewenangan menganulir penyalahguna yang dihukum penjara oleh pengadilan konvensional.
Sehingga de jure penyalah guna dilarang secara pidana namun de facto penyalah guna diberikan sangsi di luar pidana yaitu sangsi rehabilitasi.
Sampai sekarang drug court sudah berkembang di 50 negara bagian dan terkenal sebagai sistem pengadilan paling sukses di Amerika Serikat.
Bagaimana di Indonesia?
Di Indonesia agak aneh, pengadilannya ndablek, de jure penyalahguna untuk diri sendiri digolongkan sebagai pelaku kriminal, penderita sakit adiksi ketergantungan narkotika dan gangguan mental, sangsinya adalah sangsi rehabilitasi bersifat wajib (pasal 127/2, 54 dan 103).
De facto penyalah guna diberikan sangsi penjara sekarang ini berdasarkan data Ditjend Lapas, jumlahnya 42 ribu penyalahguna menghuni Lapas di seluruh Indonesia.
De jure penyalahguna narkotika untuk diri sendiri (pasal 127/1) diancam dengan pidana kurang dari 5 tahun, tidak memenuhi sarat ditahan. De facto ditahan disemua tingkat pemeriksaan.
De jure tidak memenuhi sarat dituntut secara komulatif dan subsidiaritas dengan pengedar karena beda tujuan (pasal 4).
De facto perkara penyalah guna untuk diri sendiŕi (127/1) dituntut dengan pasal komulatif atau subsidiaritas dengan pasal pengedar (pasal 111, 112, 113 atau 114). Kecuali kalau tersangka atau terdakwa dapat dibuktikan sebagai pengedar.
Secara de jure perkara penyalah guna yang disidik, dituntut dan diadili wajib kehadiran ahli yang menyatakan bahwa penyalah guna adalah orang sakit ketergantungan narkotika dan gangguan kejiwaan.
De facto tidak ada seorang ahli pun yang memberikan kesaksian di pengadilan, akhirnya hakim menjatuhkan sangsi penjara.
Perbedaan antara de jure dan de facto dalam penjatuhan sangsi terhadap perkara penyalah guna untuk diri sendiri menyebabkan residivisme dan meningkatnya penyalahgunaan narkotika sehingga contra produktif dengan program pemerintah di bidang Pencegahan dan Pemberantasan Penyalahgunaan dan Peredaran Narkotika (P4GN).
Ini sejatinya pelanggaran hak manusia yang terjadi di meja hijau.