EKSEKUTIF.COM – Di tengah hiruk-pikuk dunia modern yang semakin materialistis, kita sering melupakan esensi dari kehidupan yang bermakna: harmoni.
Harmoni bukan hanya tentang ketenangan batin, tetapi juga keseimbangan dalam menjalani hubungan dengan Tuhan, sesama manusia, dan alam. Salah satu filosofi yang menjadikan harmoni sebagai landasan hidup adalah Tri Hita Karana, warisan budaya Bali yang relevan di berbagai aspek kehidupan modern.
Filosofi ini tidak hanya milik masyarakat Hindu Bali, tetapi juga mengandung nilai-nilai universal yang dapat diadopsi oleh siapa saja, terlepas dari agama atau budaya.
Apa Itu Tri Hita Karana?
Tri Hita Karana berarti “tiga penyebab kebahagiaan.” Filosofi ini menekankan pentingnya menjaga hubungan yang harmonis dalam tiga dimensi utama:
- Parahyangan: Hubungan dengan Tuhan
Parahyangan adalah aspek spiritual yang menekankan pentingnya kedekatan manusia dengan Sang Pencipta. Dalam tradisi Hindu, hubungan ini diwujudkan melalui doa-doa harian seperti Puja Tri Sandya. Praktik serupa juga ditemukan dalam agama-agama lain. Dalam Islam, misalnya, ada shalat lima waktu yang mengajarkan rasa syukur dan introspeksi. Begitu juga dalam tradisi Katolik, doa Angelus menjadi momen untuk mendekatkan diri pada Tuhan. Semua praktik ini memiliki tujuan yang sama: membangun koneksi spiritual yang kokoh untuk menumbuhkan kedamaian dalam hati. - Pawongan: Hubungan Antar Manusia
Harmoni sosial adalah kunci dari kehidupan yang damai. Dalam aspek Pawongan, manusia diajarkan untuk hidup rukun, menghargai keberagaman, dan menjalin hubungan yang baik dengan sesama. Dalam ajaran Hindu, konsep Tat Tvam Asi yang berarti “aku adalah kamu” menjadi pedoman untuk saling menghormati. Dalam Islam, nilai toleransi dikenal sebagai Tasamuh, sementara dalam agama Katolik, ajaran tentang Hukum Kasih menjadi landasan hubungan antar manusia. Semua ajaran ini menekankan pentingnya saling pengertian, kerja sama, dan kasih sayang dalam membangun kehidupan yang harmonis. - Palemahan: Hubungan dengan Alam
Alam adalah rumah kita, dan kita adalah bagian darinya. Dalam aspek Palemahan, Tri Hita Karana mengajarkan manusia untuk menjaga keseimbangan dengan lingkungan. Filosofi ini tercermin dalam tradisi pertanian Bali, seperti sistem Subak, yang mengintegrasikan nilai sosial, spiritual, dan ekologis. Praktik serupa juga ditemukan di berbagai daerah di Indonesia, seperti tradisi Sasi di Maluku dan Papua, atau Mantari Bondar di Tapanuli Selatan. Semua tradisi ini mengajarkan pentingnya melestarikan alam demi keberlanjutan kehidupan generasi mendatang.
Tri Hita Karana di Tengah Modernitas
Di era modern, filosofi Tri Hita Karana semakin relevan. Menghadapi tantangan seperti perubahan iklim, konflik sosial, dan tekanan materialisme, nilai-nilai ini menjadi solusi yang tepat untuk menciptakan keseimbangan.
- Dalam Pengelolaan Lingkungan:
Konsep Palemahan dapat menjadi pedoman untuk memanfaatkan sumber daya alam secara bijaksana. Di sektor pariwisata, misalnya, pengintegrasian nilai-nilai ini membantu menciptakan pembangunan yang ramah lingkungan. Banyak daerah di Bali yang telah mengadopsi pendekatan ini, menjadikan pariwisata berkelanjutan sebagai prioritas utama. - Dalam Kehidupan Sosial:
Pawongan mengajarkan kita untuk hidup rukun di tengah keberagaman. Di Indonesia, yang kaya akan budaya dan agama, filosofi ini mendorong masyarakat untuk saling menghormati dan mengedepankan kerja sama. Dengan nilai ini, konflik sosial dapat diminimalkan, digantikan dengan harmoni dan toleransi. - Dalam Spiritualitas:
Parahyangan membantu manusia menemukan kedamaian di tengah tekanan hidup modern. Ketika segala sesuatu bergerak cepat, momen untuk introspeksi dan bersyukur menjadi kebutuhan yang sering terlupakan. Tri Hita Karana mengingatkan kita untuk kembali kepada nilai-nilai spiritual sebagai penyeimbang kehidupan.
Pelajaran dari Tri Hita Karana
Filosofi ini tidak hanya relevan di Bali tetapi juga dapat diadopsi oleh masyarakat global. Dengan mengedepankan harmoni, Tri Hita Karana memberikan solusi yang dapat diterapkan dalam berbagai bidang:
- Pembangunan Berkelanjutan:
Di tengah isu perubahan iklim, ajaran ini menjadi panduan penting dalam menciptakan kebijakan yang ramah lingkungan. Dengan menjaga keseimbangan antara eksploitasi dan pelestarian sumber daya alam, manusia dapat menikmati manfaat ekonomi tanpa merusak ekosistem. - Penguatan Komunitas:
Di dunia yang semakin individualistis, nilai-nilai Pawongan mengingatkan kita untuk memperkuat hubungan sosial. Dengan mengedepankan gotong royong dan kerja sama, komunitas dapat berkembang dengan lebih sehat dan harmonis. - Peningkatan Kualitas Hidup:
Parahyangan mendorong manusia untuk mencari kedamaian batin. Dengan mendekatkan diri kepada Tuhan, manusia dapat menemukan makna hidup yang lebih dalam, melampaui materi dan ambisi duniawi.
Menuju Masa Depan yang Harmonis
Tri Hita Karana bukan hanya filosofi lokal; ia adalah warisan budaya yang relevan untuk menjawab tantangan global. Dengan mengadopsi nilai-nilai ini, kita dapat menciptakan dunia yang lebih baik—dunia yang tidak hanya berkembang secara ekonomi tetapi juga seimbang secara sosial, spiritual, dan ekologis.
Bayangkan masa depan di mana manusia hidup berdampingan dengan alam tanpa merusaknya, di mana keberagaman menjadi kekuatan, bukan pemecah belah. Filosofi ini menunjukkan bahwa harmoni bukanlah hal yang mustahil.
Tri Hita Karana mengingatkan kita bahwa kebahagiaan sejati terletak pada keseimbangan. Mari, jadikan filosofi ini sebagai inspirasi untuk menciptakan kehidupan yang lebih bermakna—bagi diri kita sendiri, sesama, dan alam semesta.
Penulis : Ni Putu Indah Budi Lestari Putra (Mahasiswa Magister Akuntansi 2024 UNDIKSHA)