EKSEKUTIF.com — Kekhususan UU narkotika salah satunya adalah penyalahguna dan pecandu narkotika sebagai korban kejahatan perdagangan gelap narkotika ditetapkan sebagai pelaku kejahatan, tetapi dijamin oleh pemerintah mendapatkan sanksi rehabilitasi meskipun perbuatannya dilarang secara pidana.
Tetapi prakteknya penegak hukum menggunakan sistem peradilan pidana bersifat umum. Penegak hukum dalam menangani perkara penyalah guna dan pecandu semangatnya memenjarakannya.
Akibatnya?
Lapas menjadi over kapasitas, timbul masalah residivisme, masalah perdagangan narkotika di Indonesia tumbuh subur.
Dalam UU narkotika, Penyalah guna bagi diri sendiri dilarang secara pidana, diancam pidana sesuai pasal 127/1. Dengan ancaman pidana paling lama 4 tahun, tidak memenuhi sarat dilakukan penahanan (pasal 21 KUHAP).
Penegak hukum diberikan kewajiban dan kewenangan untuk menempatkan ke dalam lembaga rehabilitasi (pasal 13 PP 25/2011), sanksinya berupa rehabilitasi (pasal 103).
UU-nya jelas penyalah guna, tidak memenuhi sarat ditahan, hukumannya menjalani rehabilitasi tetapi banyak yang menggunakan paradigma peradilan pidana yang bersifat umum.
Kemudian mereka bertanya kenapa penjahat kok direhabilitasi? kok enak , lebih tepat dipenjara agar jera!
Itulah masalah implementasi UU no 35 tahun 2009 tentang narkotika.
Situasi yang sampai sekarang terjadi. Pengguna masih di penjara, sehingga lembaga rehabilitasi yang dibentuk pemerintah: “Bagai hidup segan mati tak mau”.
Catat Ya!
UU narkotika kita menjamin penyalah guna dan pecandu mendapatkan pengaturan upaya rehabilitasi (pasal 4d) sedangkan penyalah guna bagi diri sendiri yang menjadi pecandu (setelah diassesmen) wajib menjalani rehabilitasi (pasal 54).
Oleh karena itu, penyalah guna bagi diri sendiri atau pecandu yang ditangkap penyidik, kemudian disidik, dituntut, dan diadili disertai penahanan dan dijatuhi hukuman penjara.
Maka, tindakan aparat penegak hukum tersebut bertentangan dengan tujuan UU narkotika (pasal 4d), sarat penahanan (pasal 21 KUHAP) dan kewajiban hakim (pasal 127/2).
Kecuali kalau penyidik dan penuntut umum mendapat bukti bahwa penyalah guna bagi diri sendiri merangkap sebagai penyalah guna untuk diedarkan, baru dikatakan sah penahanannya.
Tetapi kalau penyidik dan penuntut umum tidak punya bukti bahwa penyalah guna bagi diri sendiri merangkap sebagai penyalah guna untuk diedarkan maka tidak sah penahannya karena bertentangan dengan tujuan UU narkotika yang berlaku (pasal 4d).
Bedanya ini
Beda penyalah guna bagi diri sendiri (pasal 127/1) dan penyalah guna untuk dijual (pasal 111, 112 dan 113) terletak pada “unsur tujuan” kepemilikannya
Kalau tujuan kepemilikannya untuk dikonsumsi atau digunakan bagi diri sendiri, dituntut berdasarkan pasal 127/1 saja, sedangkan kalau tujuan kepemilikannya untuk diedarkan atau dijual dituntut pasal 111 bila termasuk narkotika gol I, pasal 112 bila termasuk narkotika gol II dan pasal 113 bila termasuk narkotika gol III.
Penyalah guna untuk diri sendiri ( pasal 127/1) tidak dapat disidik, dituntut secara subsidiaritas atau komulatif dengan penyalah guna untuk diedarkan (pasal 111, 112, 113) kecuali bagi penyalah guna bagi diri sendiri yang merangkap sebagai penyalah guna untuk diedarkan.
Peran rangkap tersebut, dapat dituntut secara subsidiartitas atau komulatif dengan pasal 111, 112, 113 . Dan hakim dapat menjatuhkan hukuman penjara sekaligus dapat memerintahkan yang bersangkutan menjalani rehabilitasi. Masa menjalani rehabilitasi diperhitungkan sebagai masa menjalani hukuman.
Pemerintah dan DPR menetapkan tujuan dibuatnya UU narkotika adalah menjamin pengaturan upaya rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial bagi penyalah guna dan pecandu (pasal 4d).
Artinya!
Perkara penyalah guna dan pecandu dijamin oleh aturan perundang undangan mendapatkan upaya rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial karena penyalah guna dan pecandu adalah penderita kecanduan narkotika dan gangguan mental.
Tujuan UU narkotika tersebut menuntut penegak hukum agar dalam melakukan tugasnya senantiasa berorientasi pada tujuan, baik dalam melakukan upaya paksa maupun menjatuhkan sanksi kepada penyalah guna bagi diri sendiri.
Oleh karena dalam Peraturan Pemerintah no 25 tahun 2011 tentang wajib lapor pecandu.
Pasal 13 penyidik, penuntut umum dan hakim diberi kewenangan untuk menempatkan penyalah guna kedalam lembaga rehabilitasi (sebagai ganti penahanan) sebagai kewajiban dalam menangani perkara penyalah guna bagi diri sendiri sesuai tujuan UU.
Penempatan ke dalam lembaga rehabilitasi oleh penyidik, penuntut umum dan hakim dimaksudkan agar penyalah guna bagi diri sendiri mendapatkan upaya perawatan dan pengobatan selama proses pemeriksaan penyidikan, penuntutan dan pengadilan agar tidak relap atau kambuh selama proses penahanan.
Sedangkan penjatuhan sanksi oleh hakim berdasarkan UU no 35 tahun 2009 tentang narkotika berupa menjalani rehabilitasi sesuai pasal 103, selengkapnya berbunyi sebagai berikut:
(1) hakim yang memeriksa perkara pecandu narkotika dapat:
a. memutus untuk memerintahkan yang bersangkutan menjalani pengobatan dan/atau perawatan melalui rehabilitasi Jika pecandu narkotika tersebut terbukti salah melakukan tindak pidana; atau
b. Menetapkan untuk memerintahkan yang bersangkutan menjalani pengobatan dan/atau perawatan melalui rehabilitasi jika pecandu narkotika tersebut tidak terbukti bersalah melakukan tindak pidana narkotika.
(2) : masa menjalani pengobatan dan atau perawatan bagi pecandu narkotika sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Hukuman rehabilitasi itu, Komitmen Pemerintah.
Pemerintah Indonesia berkomitmen pada Konvensi Internasional bahwa penyalah guna bagi diri sendiri dilarang secara pidana dan diberikan hukuman berupa rehabilitasi.
Ada 2 Konvensi Internasional yang diratifikasi menjadi UU oleh Pemerintah dan DPR yang menjadi dasar dibuatnya UU narkotika mengatur bahwa penyalah guna narkotika bagi diri sendiri dilarang sesuai yuridiksi masing masing negara dan sanksinya berupa rehabilitasi.
Pertama, Konvensi Tunggal Narkotika beserta protokol yang merubahnya menjadi UU no 8 tahun 1976 tentang pengesahan Konvensi Tunggal Narkotika beserta protokol yang merubahnya.
Kedua, konvensi tentang pemberantasan peredaran gelap narkotika dan psykotropika tahun 1988 menjadi UU no 7 tahun 1997 tentang pengesahan konvensi pemberantasan peredaran gelap narkotika dan psykotropika.
Atas dasar kedua konvensi tersebut dibuatlah UU narkotika oleh Pemerintah dan DPR yang melarang penyalah guna narkotika untuk diri sendiri secara pidana (127/1). Meskipun dilarangnya secara pidana tetapi hukumannya berupa menjalani rehabilitasi.
Karena itu tujuan UU narkotika menyatakan secara ekplisit menjamin pengaturan upaya rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial bagi penyalah guna dan pecandu.
Itu sebabnya peradilan perkara penyalah guna bagi diri sendiri, mengikuti sistem peradilan khusus yang saya sebut sebagai sistem peradilan rehabilitasi beda tipis dengan drug court nya Amerika yang berlaku sekarang ini.
Hakim yang mengadili perkara penyalah guna bagi diri sendiri diberi kewajiban tertentu sebelum menjatuhkan sanksi berupa menjalani rehabilitasi.
Kewajiban hakim tersebut yang diatur pasal 127/2 adalah:
pertama, hakim wajib memperhatikan kondisi taraf ketergantungan terdakwanya, apa benar penyalah guna kondisinya dalam keadaan kecanduan atau sudah menjadi pecandu (pasal 54)
Dalam melaksanakan kewajiban tersebut, hakim yang mengadili perkara penyalahgunaan narkotika bagi diri sendiri, berwenang memerintahkan dilakukan assesmen terhadap kondisi fisik dan psykis terdakwa bila terdakwa tidak atau belum dilakukan assesmen (perber 2014 dan sema no 4/2010).
Hasil assesmen menyatakan penyalah guna bagi diri sendiri sebagai pecandu, menjelaskan riwayat pemakaian narkotika dan taraf ketergantungannya serta mendiagnosa perkiraan berapa lama waktu yang diperlukan untuk menyembuhkan dan/atau memulihkan kondisi pecandu agar kembali seperti semula.
Hasil assesmen bisa digunakan hakim sebagai patokan untuk menjatuhkan lamanya yang bersangkutan menjalani rehabilitasi.
Kedua, hakim wajib memperhatikan status penyalah guna bagi diri sendiri, apakah sudah lapor atau dilaporkan oleh keluarganya ke IPWL(Institusi Penerima Wajib Lapor) dan mendapatkan perawatan sehingga statusnya berubah menjadi tidak dituntut pidana.
Kalau statusnya tidak dituntut pidana maka hakim dapat menetapkan yang bersangkutan untuk menjalani rehabilitasi.
Ketiga, hakim wajib memperhatikan penggunaan pasal 103 bila hakim telah mengetahui bahwa taraf kecanduan penyalah guna bagi diri sendiri (sebutannya berubah menjadi pecandu setelah dilakukan proses assesmen).
Pasal 103 berisi kewajiban hakim memutuskan untuk memerintahkan yang bersangkutan menjalani pengotatan dan/atau perawatan melalui rehabilitasi bila yang bersangkutan terbukti bersalah dan
Hakim wajib menetapkan untuk memerintahkan yang bersangkutan menjalani pengobatan dan atau perawatan melalui rehabilitasi bila yang bersangkutan terbukti tidak bersalah.
Itulah serangkaian kewajiban penyidik, penuntut umum dan hakim yang tidak dilakukan ketika memeriksa perkara penyalah guna bagi diri sendiri sehingga keputusannya tidak sesuai dengan tujuan UU narkotika.
Agar ketentuan dalam UU narkotika berjalan sesuai tujuannya, saya menyarankan kepada pemerintah agar membuat Peraturan Pemerintah atau Peraturan tentang penyidikan dan penuntutan perkara penyalahguna narkotika.
Bagi diri sendiri yang berisi sistem peradilan rehabilitasi guna menjamin penyalah guna dan pecandu mendapatkan upaya paksa berupa penempatan kedalam lembaga rehabilitasi dan sanksi berupa menjalani rehabilitasi.
Penulis adalah Komisaris Jenderal Polisi Dr. Anang Iskandar, S.H., M.H. Seorang Purnawirawan perwira tinggi Polri, mantan Kepala Badan Reserse Kriminal Polri dan Kepala Badan Narkotika Nasional (BNN). Aktivis anti narkoba yang berpengalaman dalam bidang reserse. Penulis buku kelahiran 18 Mei 1958.
baca majalah eksekutif terbaru: edisi cetak klik ini