Kebijakan Penjatuhan Hukuman Mati Perkara Narkotika Merugikan Negara

Oleh: Dr Anang Iskandar, SIK, SH, MH (Ahli Hukum Narkotika, Ketua Badan Narkoter Perindo)

EKSEKUTIF.com –Kebijakan penjatuhan hukuman perkara narkotika di lingkungan MA baik penjatuhan hukuman mati bagi pengedar dan penjatuhan hukuman penjara bagi penyalah guna untuk dikonsumsi, tidak berdasarkan aturan konvensi internasional yang disepakati oleh negara.

Padahal, kesepakatan yang dilakukan oleh negara tersebut mengikat pemegang kekuasaan negara di bidang legislatif, eksekutif dan yudikatif.

Dengan kesepakatan tersebut, kemudian pemerintah (eksekutif) atas persetujuan DPR (legislatif) kemudian meratifikasi konvensi menjadi UU no 8 tahun 1976 tentang pengesahan konvensi tunggal narkotika 1961 beserta protokol yang merubahnya sebagai aturan dasar atau sumber hukum dalam membuat UU narkotika.

Dimana bentuk hukuman bagi pengedar dengan pemberatan berupa hukuman badan atau pengekangan kebebasan sedangkan hukuman bagi penyalah guna narkotika berupa hukuman alternatif yaitu hukuman menjalani rehabilitasi.

Yudikatif Tidak Menyepakati Kesepakatan

Hakim selaku pelaksana kekuasaan yudikatif dalam mengadili perkara narkotika terikat dengan kesepakatan yang dilakukan negara dalam menjatuhkan hukuman bagi pelaku kejahatan narkotika, baik penyalah guna maupun pengedar narkotika.

Praktik penjatuhan hukuman bagi pengedar dengan pemberatan dengan hukuman mati dan praktik penjatuhan hukuman bagi penyalah guna narkotika dengan hukuman penjara menunjukan ketidak sepakatan yudikatif terhadap apa yang telah disepakati oleh negara.

Negara dirugikan akibat penjatuhan hukuman mati bagi pengedar karena tidak efektif bila dieksekusi terjadi drama yang mengakibatkan keretakan hubungan diplomatik, tidak dieksekusi negara ini dilabeli oleh masarakat “tidak ada kepastiaan hukum”. Padahal hakim diberi kewenangan untuk menggali sumber hukum narkotika agar keputusannya efektif, mencerminkan rasa keadilan dan kepastian hukum.

Negara juga dirugikan akibat penjatuhan hukuman penjara bagi penyalah guna karena tidak efektif bila dihukum penjara justru penyalah guna mengulangi perbuatannya selama dan sesudah menjalani hukuman karena penyalah guna kehilangan hak untuk sembuh melalui keputusan hakim

Padahal hakim diberi kewajiban (pasal 127/2) dan kewenangan (pasal 103) oleh UU narkotika untuk menjamin penyalah guna mendapatkan upaya rehabilitasi (pasal 4d) melalui penjatuhan hukuman agar sembuh dan pulih untuk mencegah agar tidak mengulangi perbuatannya.

Kejahatan Bersarat

Kejahatan narkotika adalah kejahatan bersarat karena narkotika sendiri adalah obat yang digunakan untuk kepentingan kesehatan, ilmu pengetahuaan dan tehnologi kepemilikan.

Kepemilikan dan penguasaan narkotika harus memenuhi persaratan tertentu agar dikatagorikan sah dan tidak melawan hukum.

Kepemilikan dan penguasaan narkotika secara tidak sah dan melawan melawan hukum, dilarang secara secara pidana tetapi penjatuhan hukumannya keluar dari hukuman pidana diatur secara khusus berdasarkan UU no 8 tahun 1976 tentang pengesahan konvensi tunggal narkotika beserta protokol yang merubahnya sebagai aturan dasar yang mengikat bagi proses pembuatan, pelaksanaan dan pengadilan narkotika.

Sehingga kejahatan penyalahgunaan dan kejahatan peredaran di indonesia masuk dalam yuridiksi hukum pidana, diancam dan dituntut diproses secara pidana tetapi bentuk hukuman bagi pengedar dan bentuk hukuman bagi penyalah guna narkotika dikecualikan dari hukuman pidana yang berlaku secara umum.

Kenapa Hukumannya Dikecualikan dari Hukuman Pidana?

Karena kejahatan perdagangan obat bentuk hukumannya diatur secara khusus, diluar KUHP bahwa hukuman bagi kejahatan kepemilikan narkotika baik produsen, pengedar ataupun bandar narkotika adalah hukuman badan/ hukuman lain berupa kehilangan kebebasan/ hukuman lain diluar hukuman mati.

Khusus kejahatan kepemilikan narkotika untuk dikonsumsi, hukumannya berupa hukuman pengganti pidana/ hukuman tambahan dari hukuman pidana bahwa penyalah guna “wajib menjalani tindakan perawatan, pendidikan, rehabilitasi, after-care dan reintegrasi sosial”

Kalau Begitu Penyalah guna untuk Dikonsumsi Enggak Bisa Dihukum Penjara?

Ya, tidak bisa. Penyalah guna hukumannya diganti menjadi menjalani rehabilitasi, mengganti hukuman pidana menjadi hukuman rehabilitasi itu kewajiban hakim, kecuali kalau penyalah guna tersebut terbukti juga sebagai pengedar atau menjadi anggota sindikat narkotika.

Dalam hal demikian penyalah guna hukumannya berupa hukuman penjara ditambah dengan hukuman menjalani rehabilitasi.

Itu sebabnya Hakim harus “menggali” UU no 35 tahun 2009 tentang narkotika dan UU no 8 tahun 1976 tentang pengesahan konvensi sebagai aturan dasar narkotika untuk menentukan jenis hukuman kejahatan narkotika agar dalam menjatuhkan hukuman terhadap pelaku kejahatan narkotika mencerminkan kepastian hukum, rasa keadilan, efektif dan efisien.

Kalau Hakim Menjatuhkan Pidana Mati, Apakah Tidak Efektif ?

Ya, tidak efektif karena faktanya eksekusi terpidana mati terkendala akibat terjadinya benturan hukum, antara hukum dasar narkotika diatur dalam UU no 8 tahun 1976 tentang pengesahan konvensi tunggal narkotika, 1961 beserta protokol yang merubahnya dan KUHP

Masalahnya, hakim dalam menjatuhkan hukuman condong dan bersandar pada ketentuan umum yang ada di pasal 10 KUHP; dan mengesampingkan ketentuan dasar narkotika yang bersifat khusus yang ada dalam UU no 8 tahun 1976 sebagai rujukan dasar dalam penjatuhan hukuman perkara narkotika.

Penjatuhan hukuman mati juga menyulitkan eksekutor dalam melakukan eksekusi terpidananya, faktanya lebih dari 200 terpidana mati narkotika tidak kunjung dieksekusi, ada yang sudah 10 tahun lebih belum dieksekusi bahkan ada yang lebih dari 20 tahun pun juga tidak kunjung dieksekusi, lantas apa gunanya hakim menjatuhkan hukuman mati ?

Apa Hukuman Mati Juga Menyulitkan Pemerintah?

Ya menyulitkan. Penjatuhan hukuman mati menurut saya menyulitkan pemerintah sebagai pemegang kekuasaan eksekutif, langkah pemerintah menjadi makan buah simalakama.

Bila dieksekusi dalam rangka memenuhi kepastian hukum dan rasa keadilan, pemerintah beresiko mengalami drama diplomatik yang membuat retaknya hubungan diplomatik dengan negara yang warganya dieksekusi, bila tidak dieksekusi maka pemerintah menjadi sasaran tuduhan bawasannya di negara ini tidak ada kepastian hukum atas hukuman mati yang dijatuhkan hakim.

Kalau Penyalah guna Dipenjara Apakah juga Tidak Efektif?

Ya, tidak efektif dan tidak efisien. Penyalah guna narkotika itu kan penderita sakit ketergantungan narkotika kalau dipenjara pasti akan mengkonsumsi narkotika dalam penjara, kalau tidak mengkonsumsi narkotika dipenjara justru akan mengalami sakau dipenjara. Inikan dilematis bagi petugas lapas.

Memenjarakan penyalah guna narkotika untuk dikonsumsi disamping menyimpang tujuan dibuatnya UU no 35 tahun 2009 tentang narkotika, hakim juga melanggar kewajiban nya dalam mengadili perkara penyalahgunaan narkotika dan penjatuhan hukumannya.

Apa Iya Hakim Melanggar Tujuan dibuatnya UU?

Iya, silahkan baca pasal 4 UU no 35 tahun 2009 tentang narkotika, tujuan dibuatnya UU tersebut adalah mencegah, melindungi dan menyelamatkan warga bangsa yang menjadi penyalah guna narkotika (pasal 4b); dan dalam rangka penegakan hukum tujuannya adalah menjamin pengaturan upaya rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial penyalah guna narkotika dan pecandu (pasal 4d).

Atas dasar tujuan dibuatnya UU narkotika tersebut maka hakim dalam memeriksa perkara kepemilikan narkotika untuk dikonsumsi di wajibkan memperhatikan penggunaan pasal 103 yaitu kewajiban untuk merestorestif atau menganti hukuman pidana menjadi hukuman menjalani rehabilitasi.

Bila terdakwa terbukti bersalah, maka hakim wajib memutuskan yang bersangkutan menjalani rehabilitasi, bila terbukti tidak bersalah maka hakim wajib menetapkan yang bersangkutan menjalani rehabilitasi.

Praktiknya selama berlakunya UU no 35 tahun 2009 tentang narkotika, proses pengadilan terhadap kepemilikan narkotika untuk dikonsumsi, dimana terdakwanya terbukti secara sah dan menyakinkan sebagai penyalah guna narkotika bagi diri sendiri, hakim dalam menjatuhkan hukuman menggunakan hukuman penjara (red: direktori putusan MA).

Pemenjaraan tersebut menunjukan ada kebijakan yang tidak beres dan menyimpang dari aturan dasar hukum narkotika khususnya mengenai penjatuhan hukuman terhadap penyalah guna bawasanya penyalah guna narkotika wajib dijatuhi hukuman menjalani rehabilitasi

Kebijakan memenjarakan penyalahguna narkotika merugikan masarakat karena penyalah guna narkotika itu orang sakit adiksi tapi dipenjara, otomatis kehilangan hak untuk sembuh dari sakit ketergantungan narkotika yang dideritanya.

Pertanyaannya, Apa bener Kebijakan MA Memenjarakan Penyalah guna narkotika untuk Dikonsumsi tersebut tidak merugikan?

Salam anti penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika. Rehabilitasi penyalah gunanya dan penjarakan pengedarnya.

Komisaris Jenderal  (p) Dr. Anang Iskandar, S.H., M.H. adalah seorang  polisi lulusan Akpol, berpengalaman di bidang reserse. Mantan Kepala Badan Narkotika Nasional (BNN)  yang  pernah menjadi Komandan Bareskrim Mabes Polri.

Jenderal bintang tiga ini menjadi sosok aktivis anti narkoba, seorang dosen yang juga penulis buku yang produktif.  Komitmennya untuk mengedukasi dan meliterasi aparat,  semua lini di bangsa ini, agar memahami permasalahan narkoba dengan jernih.

  • BACA JUGA: Majalah EKSEKUTIF edisi April 2023, Klik ini

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.