Jauh dan Lama. Tantangan Infrastruktur Wisata Jember

EKSEKUTIF.com —  Jauh dan Lama. Tantangan Infrastruktur Wisata Jember

Bukan perkara mudah bagi Kabupaten Jember untuk mengembangkan bidang dan industri pariwisatanya.

Pasalnya, Jember diapit dua raksasa pariwisata nasional: Kabupaten Banyuwangi di timur dan trio Malang Raya (Malang kota dan kabupaten serta kota Batu) di barat.

Selain harus cerdik membaca situasi medan dan mengolah positioning juga harus jitu menyusun strategi agar mampu bersaing dengan dua kabupaten tetangga Jember itu.

Apalagi Jember terbilang “sulit” dalam hal aksesabilitas jika dibanding Malang Raya dan Banyuwangi.

Itu mengapa rata-rata pengunjung ke Jember menilai lokasi destinasi ini jauh dan butuh waktu lama untuk dicapai.

Jauh dan lama, itu dua kata kuncinya jika kita berbicara soal aksesabilitas Jember.

Jember memiliki pekerjaan rumah berupa infrastruktur yang berat.

Padahal, adalah infrastruktur itu yang menjadi moda utama bagi wisatawan jika mau melenggang ke daerah wisata ini.

Adalah fakta, untuk mendatangi Jember seorang pelancong harus transit terlebih dahulu di kota Surabaya. Baik itu dengan pesawat maupun kereta api.

Setelah itu wisatawan harus melanjutkan perjalanan sekitar 3-4 jam lagi dengan mobil.

“Jalanannya pun tidak semulus jalan layang Sheikh Mohammed bin Zayed (MBZ),” tutur Hendy Siswanto, Bupati Jember, ketika menjamu 25 media warga HAM (Himpunan Anak Media) di Pendopo Wahyawibawagraha akhir bulan November lalu.

Filosofi Bubur Ayam

Bupati Hendy Siswanto lalu menyampaikan, dalam membangun pariwisata Jember menerapkan “filosofi makan bubur ayam.”

Bagi yang mafhum soal makan bubur ayam pasti tahu cara dan strategi ini.

Agar makan bubur ayam tetap nikmat dan mulut atau lidah tak tersengat panas disarankan memakannya mulai dari pinggir bertahap ke tengah.

Pinggiran bubur itu kondisinya lebih tipis sehingga lebih dingin. Dengan begitu jadi lebih enak untuk dimakan.

Selesai bagian pinggir perlahan menuju tengah yang suhunya juga mulai turun dari panas menjadi hangat. Jadi tetap enak hingga suap terakhir.

“Jember letaknya di tengah, di antara Lumajang, Probolinggo, Bondowoso, Situbondo dan Banyuwangi.”

“Dari masing-masing daerah pinggiran Jember ini akan saya colek lima persen saja jumlah penduduknya untuk mampir ke Jember.”

“Karena 90 persen dari perjalanan pada daerah-daerah itu pasti melalui Jember,” kata Hendy Siswanto.

Bupati Hendy menambahkan, jumlah penduduk Jember adalah 2,6 juta; jika ditambah 5 persen dari masing-masing jumlah penduduk kabupaten sekitar, maka Jember memiliki “traffic” setara wilayah dengan lima juta penduduk.

Ini pangsa pasar yang besar dengan daya beli signifikan sehingga perlu untuk dikelola secara cermat dan cerdik.

Masih memakai filosofi makan bubur ayam, Hendy menjelaskan, jika ia langsung ‘jualan’ membangun obyek wisata pasti berisiko tinggi.

Pandemi Covid-19 harus diakui menurunkan animo orang untuk berwisata. Selain itu masih ada faktor jarak (terkesan jauh) bila pun Jember membangunnya.

“Untuk itu, selama pandemi lalu, infrastruktur kita genjot. Karena ini urat nadi sekaligus modal utama wisatawan datang secara nyaman ke Jember.

Terutama dari pinggir-pinggir kabupaten yang berbatasan dengan Jember, tadi” jelasnya.

Gelar Event Hadirkan Wisatawan

Setelah 20 bulan menjabat sebagai Bupati pas di tengah pandemi Covid-19, dalam delapan bulan terakhir ini Jember telah membangun 1.200 KM berikut 30 ribu unit lampu untuk penerangannya.

“Jalan rusak di Jember 1.900 KM dan masih ada 700 KM lagi yang akan kita gaspol. Bagi warga Jember mungkin ini tidak ada nilainya.”

“Tapi bagi orang dari luar Jember hal ini ibarat bius.”

“Mereka secara tidak sadar merasakan jalan yang enak, dan lebih memilih ke Jember daripada ke pusat kota mereka di kabupaten masing-masing yang letaknya relatif jauh-jauh,” ujarnya.

Setelah mereka ‘terbius’ dengan kenyamanan dan kemudahan akses, secara perlahan dan halus Jember mulai ‘menebar jala’ dengan menggelar event agar berduyun-duyun datang dan bertransaksi di Jember.

“Setelah larangan menggelar event diperlonggar, Jember langsung mendatangkan Tulus untuk konser di Jember.”

“Event disubsidi APBD, harga tiket dapat dijual murah, sponsorship pun masuk semua, masyarakat di sekitaran Jember pun duyun duyun berdatangan,” urai Bupati Hendy.

Wayahe Lepas Landas

Paham akan masalah akses wisata, Jember pun berencana awal tahun 2023 akan kembali menghidupkan bandara yang 20 tahun terakhir tertidur pulas.

Ini pun bukan perkara mudah bagi daerah yang ternyata memiliki padang golf 18 hole ini.

Saat ini Bandara Notohari Negoro Jember memiliki landasan pacu sepanjang 1,6 KM. Panjang runway ini hanya bisa didarati pesawat ATR twin turboprop 9 penumpang.

Agar pesawat kelas Boeing dapat melandas, bandara ini harus memperpanjang landasan pacu sekitar 500 meter.

Saat ini lagi ada negosiasi dengan PTPN 12 sebagai pemilik lahan yang diperlukan untuk perpanjangan runway tersebut.

“Pada 1 Januari tahun 2023 mendatang, bertepatan dengan ulang tahun Jember, kami akan carter pesawat ATR jenis Caravan 208B dari Prime Air selama setahun ke depan.”

“Agar bandara berfungsi kembali.”

“Ini sekaligus membuktikan bahwa Jember bisa mencapai load factor yang memadai sehingga selanjutnya dapat menjadi penerbangan regular yang komersial,” paparnya.

Bupati Hendy menegaskan, demand untuk penerbangan dari dan menuju Jember cukup banyak sebenarnya.

Kelak akan ada dua kali penerbangan tiap harinya dengan rute dan skedul Jember–Surabaya jam 6 dan Surabaya–Jember jam 7 pagi.

Kemudian sorenya Jember ke Surabaya jam 4 dan Surabaya ke Jember jam 5 sore.

“Pesawat ATR ini dapat angkut 9 orang dan selama setahun akan disubsidi 50 persen oleh Pemkab Jember.”

“Harga tiket dipatok Rp 650 ribu per sekali jalan.”

“Kalau sudah sampai begini kejadiannya, Jember sudah ‘wayahe’ makan ‘bubur ayam’ langsung dari tengah.”

“Artinya sudah tiba waktunya bagi pariwisata Jember untuk melesatbmaju dan lepas landas,” pungkasnya.

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.