EKSEKUTIF.com — Sosoknya terasa punya kharisma. Pria yang akrab disapa 08 ini ramah, tidak segarang imej yang beredar. Realitasnya, ia sangat baik hati dan tidak sombong. Orangnya sopan dan gampang akrab, memiliki kasih antar sesama.
Senyumnya terus mengembang. Sesekali, pria ini mengeluarkan joke-joke segar, dan membuat suasana menjadi cair. Wawancara ekslusif dengan S.S Budi Raharjo pun berlangsung asyik.
“Sebagai kawan, dalam keadaan senang atau susah harus tetap berkawan. Kalau ada perbedaan sikap politik atau pandangan soal kemasyarakatan, itu lain ceritanya,” kata Prabowo, santai.
Kala di militer, banyak orang kerap menyebut Prabowo “the rising star”.
Pada usia 47 tahun, ia sudah diangkat menjadi panglima di lingkungan TNI. Dan, pada 1998 jabatan Panglima Komando Strategi Angkatan Darat (Pangkostrad) pun direngkuhnya.
Banyak cerita dramatis yang berkembang di seputar berhentinya salah satu (mantan) menantu Pak Harto ini dari dinas kemiliteran. Namun, tampaknya pria kelahiran Jakarta, 17 Oktober 1951, ini tak mau menoleh ke belakang.
Setelah sempat lama di luar negeri, membantu bisnis adiknya, Hashim Djojohadikusumo, dia pulang ke Indonesia.
Di sini, pria yang gaya bicaranya selalu berapi-api ini memimpin Nusantara Energi − sebuah grup bisnis yang bergerak dalam pengelolaan dan perdagangan beberapa komoditas sumber daya alam.
Bisnisnya mulai dari minyak kelapa sawit, minyak bumi, pertambangan, pulp, sampai perikanan. Di Karazanbasmunai, ia menangani sebuah perusahaan minyak yang berkedudukan di Kazakstan. Pria yang masih tampak awet muda ini duduk sebagai komisaris.
Di perusahaan lain, PT Tidar Kerinci Agung − sebuah produsen minyak kelapa sawit − ia menjabat presiden direktur. Sementara di Nusantara Energy, pria ini tercatat sebagai CEO. Posisi yang sama ia pegang di PT Jaladri Nusantara, sebuah perusahaan perikanan.
Sejatinya, Prabowo memiliki karier yang mumpuni di bidang militer. Berbagai posisi-posisi strategis pernah ia lakoni, seperti menjadi Komandan Jenderal Kopassus sampai Panglima Kostrad.
Sibuk berbisnis, rupanya, putra begawan ekonomi Alm. Sumitro Djojohadiskusumo ini punya kenangan dengan militer.
Maka, ketika datang tawaran Presiden Joko Widodo untuk menjabat sebagai Menteri Pertahanan di Kabinet Indonesia Maju.
“Profesi saya adalah pertahanan dan keamanan. Saya pelajari ilmu perang ribuan tahun sejarah perang saya pelajari, teknologi masih saya kuasai, saya tahu jarak-jarak peluru kendali,” katanya.
Sebetulnya, waktu Anda masuk ke bisnis karena terpaksa?
Ya. Cita-cita saya, terus mengabdi di tentara. Karena dulu saya tak korupsi, tak punya uang, maka untuk bertahan hidup, saya harus cari uang dengan menjadi pengusaha.
Perbedaan apa yang Anda rasakan dari militer ke bisnis?
Setelah saya di bisnis, saya melihat banyak persamaannya dengan di militer. Bahkan bisa dikatakan, bisnis itu adalah perang. Esensi-esensi dalam bisnis sama dengan perang. Selama sejarah manusia hidup, semua peperangan juga adalah memperebutkan sumber daya ekonomi, entah air, lahan, atau rempah.
Bagaimana dengan adanya perang ideologi atau perang agama?
Ha-ha-ha. Ujung-ujungnya, ya, ke ekonomi juga.
Meski sudah pensiun dari militer, Anda seolah tetap dianggap sebagai Panglima di lingkungan bisnis Anda?
Setelah saya jalani, bisnis juga seperti menjalankan suatu operasi militer. Kita harus punya intelijen, punya informasi yang akurat. Dengan informasi yang akurat, kita bisa tahu adanya peluang-peluang, dan bisa ambil keputusan.
Dengan demikian, Anda bisa melaksanakan operasi bisnis tersebut?
Iya. Bedanya, hanya tidak ada senjata dan tembak-menembak. Dan, sebagian besar dalam bisnis-bisnis besar, mereka banyak mengambil sistem militer dalam mengelola bisnisnya.
Dan, yang ingin saya garis bawahi, pengusaha-pengusaha yang sukses adalah mereka yang memiliki jiwa nasionalisme dan patriotisme yang tinggi. Mereka adalah samurai-samurai bangsa. Mereka adalah pendekar-pendekar bangsa.
Selain sebagai pengusaha, Anda juga sudah menjadi politisi. Bagaimana Anda membagi waktunya?
Saya tetap harus berimbang antara bisnis dan politik. Sebab, kalau mau jadi politisi profesional sepenuhnya, itu berat sekali. Setiap hari harus jalan ke daerah-daerah. Sementara, saya juga harus menjaga tanggung jawab terhadap 10.000 karyawan saya di berbagai perusahaan.
Pengabdian 28 tahun Prabowo dalam dinas militer tak sekadar mengantarkannya jadi jenderal bintang tiga. Namun, sekaligus meneguhkan reputasi pribadinya. Karier militer alumnus Akabri (1974) ini − yang banyak diisi dengan penugasan di satuan tempur − terhitung lurus.
Menjadi jenderal termuda yang meraih tiga bintang di usia 46 tahun. Ia juga dikenal cerdas dan berpengaruh, seiring dengan penempatannya sebagai penyandang tongkat komando di pos-pos strategis TNI AD.
Di samping menguasai lima bahasa asing, Prabowo juga memunyai hubungan yang dekat dengan tokoh-tokoh internasional, mulai dari jenderal-jenderal di Amerika Serikat hingga Raja Abdullah dari Yordania dan Perdana Menteri Mahathir Muhammad yang kini sudah pensiun.
Karier gemilang Prabowo memang kemudian meredup setelah Presiden Soeharto mundur dari kekuasaan, 21 Mei 1998. Prabowo – yang ketika itu menantu Soeharto – dimutasikan menjadi Komandan Sesko ABRI, sebelum akhirnya pensiun dini.
Berbarengan dengan itu, bintang di pentas militer itu lantas diberondong dengan aneka rumor. Publik seolah digiring pada stigma serbanegatif yang amat memojokkan sang jenderal.
Mulai dari tudingan bahwa dialah dalang (mastermind) dari penembakan mahasiswa Trisakti, penyulut kerusuhan Mei 1998, hingga ke isu seputar klik dan intrik di kalangan elite militer.
Ia juga dituduh hendak melakukan kudeta yang dikaitkan dengan isu ”pengepungan” kediaman Presiden B.J. Habibie oleh pasukan Kostrad dan Kopassus. Semua isu dan fitnah yang dituduhkan kepadanya itu akhirnya tak ada yang terbukti.
Prabowo menepis semua isu itu di hadapan Pansus DPR tentang Trisakti, Semanggi I, dan Semanggi II pada Februari 2001. Ia mengatakan bahwa dirinya adalah korban dari permainan politik istana.
Soal isu penculikan aktivis, Prabowo menyatakan bahwa itu bukan penculikan, tapi penangkapan karena mereka ada dalam daftar pencarian orang (DPO) setelah meledaknya bom di Tanah Tinggi pada awal 1998. Meski begitu, ia tetap dengan kesatria mengambil alih tanggung jawab dari anak buahnya.
“Sejak kecil, Prabowo dibesarkan di tengah keluarga yang terpandang. Kakeknya, Margono Djojohadikusumo, adalah pendiri Bank Negara Indonesia 1946 (BNI). Di rumah kakeknya, pernah bermarkas Badan Keamanan Rakyat (BKR), cikal bakal Tentara Nasional Indonesia (TNI). Dua pamannya, Subianto dan Suyono, gugur dalm memperjuangkan kemerdekaan.
Pada tahun 1958, ayahnya, (Alm.) Sumitro Djojohadikusumo, seorang ekonom terhormat, terpaksa keluar dari Indonesia gara-gara ulah pemerintah Presiden Indonesia pertama, Soekarno. Ia keluar dari Indonesia selama 10 tahun, hingga akhirnya diundang oleh Presiden Soeharto untuk membantu mengurus ekonomi. Sumitro hingga kini dikenal sebagai begawan ekonomi Indonesia.
Selama di luar negeri, keluarga itu terus-menerus berpindah-pindah, yang berakhir di Eropa. Tetapi, justru di sanalah nasionalisme Prabowo tumbuh, sebagaimana kekagumannya pada ide-ide Barat. Hingga pada suatu saat, Prabowo akhirnya memutuskan untuk kembali ke tanah air.
Ketika Soeharto menggantikan Soekarno, mulailah terjadi perdebatan di kalangan mahasiswa: apakah mereka akan bekerja sama dengan rezim militer yang sedang muncul, ataukah tetap berada di luar sambil mengawasinya? Tetapi, keterpesonaan Prabowo pada militer yang ditanam oleh kakeknya sangat mendalam di hatinya.
Ketika dirinya sedang berencana masuk militer, teman-teman dekatnya keheranan. “Saya jelaskan bahwa militer itu sangat penting. Seharusnya beberapa di antara kita harus berada di dalam militer. Saudara-saudara jadilah teknokrat. Pada suatu hari nanti, kita akan berjumpa dan ambil bagian dalam memodernkan negeri kita,” kata Prabowo, mengisahkan.
“
Sejak dipensiunkan, Anda sempat menghilang begitu saja. Apa yang dilakukan ketika itu?
Bukan menghilang. Saya harus tahu peranan. Waktu keluar dari tentara dan masuk ke dunia bisnis, saya, kan, sebagai seorang pribadi di tengah masyarakat. Saya menempatkan diri, konsolidasi, belajar, dan merintis kehidupan baru.
Bagaimana rasanya dihujat?
Itu merupakan masa sulit. Saya pun jadi bertanya-tanya, apa sebenarnya yang terjadi? Tapi, saya juga tahu karena belajar dari sejarah bahwa inilah bagian dari perjuangan.
Orang kalau punya sikap, pendirian, kan, ada risikonya. Sepanjang sejarah acap kali orang-orang yang punya sikap itu yang dikorbankan.
Jadi, Anda tak menghilang?
Tidak. Saya punya keluarga dan anak yang harus sekolah. Saya katakan, apa pun yang terjadi, orang tahu saya, kok. Orang tahu saya tak pernah korupsi. Karena itu, begitu pensiun saya harus mandiri, bekerja secara independen. Bersyukur waktu itu adik saya bisa bantu, meski waktu itu dia juga dalam keadaan sulit.
Anda lebih memilih bisnis, menjalin hubungan dengan Pangeran Abdullah dari Yordania?
Kebetulan, pada 1998 saya punya hubungan baik dengan dia, dan dia bilang kamu di sini sajalah. Di sana, saya juga mempelajari bisnis di Timur Tengah.
Anda kembali akrab dengan keluarga Cendana?
Kita memang terus silaturahmi. Sejak dulu, saya mencoba untuk baik kepada semua orang. Kalau kemudian orang lain tidak baik sama kita, itu urusan orang lain.
Sekadar kilas balik, kisah ketika Anda masih bertugas di Timtim, sekitar tahun 1976. Kabarnya Anda sempat tertangkap oleh Fretilin?
Enggak ditangkap. Ya, kalau sekadar dikepung, itu risiko biasa. Ya, namanya kita ini pasukan khusus yang mengadakan patroli jarak jauh, saya bersama dengan tim Nenggala X, komandannya Pak Yunus Yosfiah. Beberapa kali memang saya dikepung, tapi alhamdulillah selalu lolos.
Memang suatu ketika, karena kelelahan setelah patroli jarak jauh beberapa puluh jam, seluruh pasukan kelelahan dan tertidur. Hampir saja kita disergap oleh musuh. Begitu saya bangun, lo, ini, kok, musuh sudah dekat sekali. Saya yang pertama kali bangun, dan pertama kali menembak mereka.
Tapi, soal dikepung musuh itu biasa, karena Fretilin jumlahnya masih banyak. Waktu itu pangkat saya masih letnan dua. Saya merasa itu pengalaman yang cukup mengesankan selama tugas di sana. Itulah romantika seorang prajurit.
Dikenal sebagai jago tembak, apakah menembak juga menjadi hobi sampai sekarang?
Sebenarnya hobi, tapi saya sudah sibuk sekali. Jadi, sulit untuk melakukan. Sebetulnya bukan jago tembak. Saya baru bagus menembak setelah saya berpangkat mayor. Saat itu saya baru merasakan seni menembak. Sekarang saya lagi senang naik kuda.
Mengapa pula Anda dipanggil 08? Bisa diceritakan tentang sebutan ini?
Ha-ha-ha. 08 itu nama sandi di radio saya ketika bertugas di Timtim. Panggilan itu terus melekat, meskipun saya tidak membawa radio.
Ya, sampai sekarang ini, meski sudah pensiun, saya masih dipanggil 08. mungkin lebih singkat, daripada dipanggil Pak Prabowo, terlalu panjang.
Anda jarang olahraga ya?
Sangat sibuk, jadi waktu untuk olahraga sangat berkurang. Meskipun, harusnya tidak ada alasan untuk berolahraga, tapi kadang susah juga. Malam-malam masih harus memimpin pertemuan, pagi-pagi sekali harus rapat lagi.
Perbedaan itu seberapa jauh pengaruhnya bagi kehidupan Anda?
Jelas, tidak berolahraga itu tidak bagus. Saya harus memulai lagi, meski berat. Saya harus paksakan. Ketika masih menjadi Danjen (Komandan Jenderal) Kopassus, dalam seminggu saya lari lima kali, setiap hari dua sampai tiga kilometer. Makanya, sekarang saya jadi gemuk begini, ha-ha-ha.
Sejak pensiun, Anda sering mengenakan pakaian warna khaki. Itu warna kesukaan Anda?
Ini, kan, warna pekerja. Di semua perusahaan saya, karyawannya pakai pakaian kerja warna seperti ini. Pas untuk orang lapangan, tidak kelihatan cepat kotor.
Anda punya perancang khusus soal pakaian atau kebutuhan pribadi lainnya?
Enggak punya. Untuk sepatu misalnya, telapak kaki saya melebar, jadi susah untuk pakai sepatu dengan merek-merek yang keren. Yang penting enak dipakai dan kuat. Maunya, sih, pakai yang bermerek terkenal, seperti Bally, Gucci, atau yang lainnya. Tapi, kan, merek-merek itu sempit untuk saya. Kaki saya itu kaki prajurit infanteri, jadi lebar, ha-ha-ha.
Di tengah kesibukannya mengendalikan bisnis dan agenda politiknya, pria yang waktu kecil hobi nonton film (laga) Zorro ini masih menyempatkan diri untuk menikmati waktu senggangnya. Berkuda menjadi hobinya sejak lama. Rupanya, kebiasaan menonton film Zorro dan Pangeran Diponegoro itulah yang mengilhaminya menekuni hobi ini.
Selain itu, pria yang tetap menjaga kebugarannya melalui renang dan fitness ini juga pencinta binatang. Kuda, salah satunya. “Saya punya beberapa ekor. Kadang, ada teman menawarkan kuda yang sudah mau diafkir, lalu saya beli dan dirawat,” ujarnya.
Meski kesibukannya begitu padat, olahraga merupakan “menu” yang tak pernah ditinggalkan. “Bagi saya, olahraga itu suatu kebutuhan yang luxury. Sebab, kadang waktu meeting sudah dimulai jam 8 pagi, selesai jam 10 malam. Pulang, rasanya sudah capek sekali,” katanya.
“Katanya Anda tidak suka golf?
Saya enggak bisa golf. Dulu enggak suka, sekarang enggak bisa, ha-ha-ha.
Makanan favorit Anda?
Saya suka makan apa saja, tapi setiap hari harus makan tahu dan tempe. Dulu kalau teman-teman saya ke Yordania bertemu saya, mereka harus bawa tahu dan tempe, ha-ha-ha. Soalnya, di sana tidak ada tempe.
Benarkah berat badan Anda kian bertambah?
Iya. Saya sempat kaget ketika melihat pakaian militer saya ketika masih aktif di militer. Ternyata, sekarang ukuran tiga size lebih besar daripada pakaian itu. Setiap hari saya timbang badan, kok. He-he-he.
Anda begitu menikmati hobi berkuda, ada filosofi dari hobi ini?
Bagi saya, berkuda itu merupakan salah satu olahraga yang unik. Butuh kerja sama yang baik antara manusia dan binatang. Saya harus mendalami kehidupan binatang ini.
Soal anak, Anda punya konsep dalam mendidik?
Saya berikan kebebasan kepada anak untuk mengambil keputusan sendiri, tetapi harus belajar bertanggung jawab. Dulu, ayah mendidik saya demikian. Ayah saya selalu bilang, “kalau itu sudah menjadi kehendakmu, silakan. Tapi, kamu harus bertanggung jawab. Konsep ini yang coba saya terapkan.”
Apalagi, sekarang anak saya sekolah di Amerika, jadi liberalisme sudah terbentuk.
Anda sering berlibur dengan anak?
Waduh, waktu saya sangat sempit sekali. Yang penting, komunikasi saya jaga terus. Kalau telepon, sampai berjam-jam, sampai-sampai rekening telepon membengkak, ha-ha-ha.
Dalam hidup, Anda percaya dengan life begins at forty?
Saya percaya life begins at fifty, ha-ha-ha.
Anda termasuk pria yang romantis?
Waduh, saya enggak mau bicara soal itu, ah. Saya ini orangnya serius, ha-ha-ha.
Sampai sekarang Anda masih sendiri, sudah ada rencana untuk menikah lagi?
Enggak usah ditanyalah, itu nanti saja. Ha-ha-ha.
* * *
SAMURAI YANG DISINGKIRKAN
Geger kerusuhan Mei 1998 menyisakan banyak cerita. Versinya pun berbeda-beda. Ada yang menghujat hingga kelewat batas, ada pula yang mencoba melihatnya dengan jernih.
“Buku Putih” Prabowo terbit. Naik dan Jatuhnya Seorang Idealis.
Pada tahun 1970, Prabowo mendaftarkan diri ke Akademi Militer (Akmil). Kehidupan di sana jauh berbeda dengan kenyamanan yang telah ia nikmati di lingkungan keluarga. Ia diperlakukan keras oleh para seniornya.
Ketika pangkatnya diturunkan karena pelanggaran disiplin, ibunya mengatakan kepadanya, ia boleh meninggalkan akademi itu kalau mau. Ia menolak, dan berkata, “Tidak. Saya senang pada Angkatan Darat. Apa pun yang terjadi, saya akan tetap di Angkatan Darat.”
Keputusan itu ternyata memiliki konsekuensi penting. Angkatan Darat mempertemukannya dengan keluarga Presiden Soeharto. Minat keluarga presiden tergugah oleh perwira muda yang berasal dari keluarga terhormat itu, dan ia dijodohkan dengan putri kedua Soeharto, Siti Hediati Harjadi atau yang akrab disapa Titiek. Pasangan itu menikah pada 8 Mei 1983.
Ketika memimpin latihan Kopassus, Prabowo merasionalisasikan latihan-latihan dan, membersihkan manajemennya. Bahkan, ia melarang perwira-perwiranya bermain golf, sebuah permainan yang banyak digemari para jenderal.
Pada 1995, ia diangkat menjadi Wakil Komandan Kopassus, lalu naik sebagai komandan, setahun berikutnya. Di tangannya, dengan cepat pasukan elite Angkatan Darat ini mencapai reputasi sebagai salah satu cabang militer yang terlatih paling baik, dan memiliki dana yang terbaik.
Dengan hati-hati, Prabowo juga sering menyarankan agar keluarga presiden melakukan perubahan. Selama bertahun-tahun ia mencoba memperingatkan ketidaksenangan publik yang kian besar terhadap pemerintahan Soeharto yang otoriter.
Idealisme Prabowo memang luar biasa. Walau, pria yang tetap loyal kepada Soeharto itu sudah telanjur sebagai seorang samurai. Seorang samurai tidak meninggalkan yang dipertuannya. Jalan cerita jenderal yang berotak cemerlang ini sedang ditulis banyak orang, saat ini.
#ssbudirahardjo