Anang Iskandar di Momen HANI 2024 Ingatkan Penyidik, Penuntut Umum dan Hakim

EKSEKUTIF.com — Menurut catatan saya : penyidik, penuntut umum dan hakim berdasarkan ketentuan UU narkotika yang berlaku, berkewajiban memperlakukan penyalah guna dan pengedar dengan cara berbeda.

Selama ini, perlakuan tidak dibedakan kususnya dalam upaya paksa dan penjatuhan sanksi, sehingga  bertentangan dengan semangat, cita cita dan tujuan UU narkotika.

Kewajiban membedakan perlakuan terhadap penyalah guna dan pengedar disebabkan karena unsur pidananya berbeda.

Perbedaan unsur penyalah guna dan pengedar, pertama unsur tujuan UU nya, kedua unsur tujuan kepemilikan narkotikanya dan ketiga unsur jumlah gramasi kepemilikan narkotikanya.

Walaupun penyalah guna dan pengedar statusnya sama sebagai pelaku kejahatan kepemilikan narkotika dan punya hubungan kejahatan.

UU narkotika menyatakan dengan jelas perbedaan dalam menangani penyalah guna dan pengedar.

Pengedar tujuannya diberantas (pasal 4c) sedangkan tujuan dalam menangani penyalahgunaan narkotika adalah menjamin penyalah guna mendapatkan upaya rehabilitasi (pasal 4d).

Oleh karena itu konsep dasar dalam penanggulangan  masalah penyalahgunaan narkotika tidak menggunakan sanksi pidana / penjara meskipun masuk yuridiksi hukum pidana tetapi menggunakan sanksi rehabilitasi.

Sehingga penegakan hukum terhadap penyalah guna bersifat rehabilitatif dengan kewajiban menempatkan penyalah guna kedalam lembaga rehabilitasi selama proses pemeriksaan sampai ke pengadilan.

Dalam UU narkotika, penyalah guna diatur berdasarkan pasal tersendiri yaitu pasal 127/1 diancam dengan pidana maksimum, dan tidak memenuhi sarat dilakukan penahan.

Sedang pengedar diatur dengan pasal 111, 112, 113 dan 114 diancam diancam dengan pidana maksimum, memenuhi sarat dilakunan penahanan.

Unsur kepemilikan narkotika, antara penyalah guna dan pengedar hampir sama, yaitu unsur memiliki, menyimpan dan  menguasai, hanya dibedakan berdasarkan tujuan kepemilikan.

Bila kepemilikannya bertujuan untuk dikonsumsi atau digunakan sendiri, dengan indikasi kepemilikannya jumlahnya hanya terbatas untuk pemakaian sehari pakai, digolongkan sebagai penyalah guna.

Cara mendapatkan narkotikanya, kebanyak membeli di pasar gelap, sebagian kecil dari distribusi resmi, biasanya jumlah pembeliannya terbatas bahkan habis untuk dikonsumsi.

Dalam hal penyidik, penuntut umum dan hakim mendapatkan bukti keterlibatan penyalah guna sebagai pengedar, maka tuntutan dilakukan secara komulatif, sebagai penyalah guna merangkap pengedar.

Sedang tujuan kepemilikannya yang nyata nya bertujuannya untuk dijual guna mendapatkan keuntungan dengan indikasi jumlah kepemilikan narkotikanya melebihi pemakaian sehari, digolongkan sebagai pengedar.

Kalau dalam pemeriksaan baik tingkat penyidikan, penuntutan dan pengadilan “tujuan kepemilikan” tidak diungkap pemeriksaan maka penerapan pasalnya bisa bias.

Penyalah guna dapat dianggap memenuhi unsur pasal 111, 112, 113 dan 114 yang diperuntukan bagi pengedar.

Atau dituntut secara komulatif atau subsidiaritas dengan pengedar sehingga tidak ada bedanya antara penyalah guna dan pengedar.

Itulah, yang selama ini membuat penyalah guna ditahan dan dihukum penjara, meskipun tujuan UU narkotika, jelas menjamin penyalah guna mendapatkan upaya rehabilitasi.

Kewenangan upaya paksa berupa penempatan kedalam lembaga rehabilitasi terhadap perkara penyalahgunaan narkotika diatur dalam pasal 13 PP 25/2011.

Penyidik, jaksa penuntut umum dan hakim diberi kewenangan upaya paksa berupa penempatan kedalam lembaga rehabilitasi bagi penyalah guna pada semua tingkat pemeriksaan.

Kewenangan melakukan upaya paksa tersebut adalah kewenangan bersifat wajib, bila menangani perkara penyalahgunaan narkotika yang secara yuridis tidak memenuhi sarat dilakukan upaya paksa berupa penahanan.

Masa menjalani penempatan kedalam lembaga rehabilitasi oleh penyidik, jaksa dan hakim diperhitungkan sebagai masa menjalani hukuman (pasal 103/2).

Sayangnya upaya paksa berupa penempatan kedalam lembaga rehabilitasi ini belum tersosialisasi dengan baik dikalangan penegak hukum dan masarakat.

Sanksi terhadap penyalah guna narkotika.

Sanksi terhadap penyalah guna berdasarkan konvensi tunggal narkotika beserta protokol yang mengubahnya dan berlaku sampai saat ini adalah sanksi rehabilitasi.

Sanksi rehabilitasi ini bersifat universal, berlaku dinamapun didunia ini dan masuk yuridiksi hukum apapun.

Di Indonesia masuk yuridiksi hukum pidana, sanksinya dikeluarkan dari sanksi pidana berupa sanksi rehabilitasi yaitu penempatan kedalam lembaga rehabilitasi

Dalam UU narkotika sanksi rehabilitasi diatur dalam pasal 103/2, dinyatakan: masa menjalani rehabilitasi diperhitungkan sebagai masa menjalani hukuman.

Hakim diberi kewajiban (pasal 127/2) dan kewenangan (pasal 103) dapat memutuskan dan menetapkan terdakwa untuk menjalani rehabilitasi baik terbukti salah maupun tidak terbukti bersalah yang dikenal sebagai kewenangan justice for health.

Sanksi penempatan kedalam lembaga rehabilitasi ini, sayangnya juga belum tersosialisasi dengan baik dikalangan hakim dalam memeriksa perkara yang terbukti sebagai penyalah guna untuk diri sendiri.

Demikian pula di kalangan masyarakatnya, juga sulit memahami sanksi rehabilitasi sebagai bentuk solusi utama dalam menanggulangi masalah penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika.

Faktor masyarakat dan faktor penegak hukum yang belum tuntas mendapatkan sosialisasi tentang perlakuan terhadap penyalah guna itulah yang menyebabkan misi rehabilitatif penegak hukum menjadi tergerus oleh misi represifnya.

Akibatnya penegakan hukum narkotika kehilangan arah, cita cita  dan tujuan dalam mencegah dan memberantas penyalahgunaan narkotika di indonesia  (baca politik hukum narkotika: 2020).

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.