Hadir Pembicara Webinar dan Rilis Survei SMRC, Pimpinan DPD RI; Amandemen ke-5 Adalah Jawaban Kebutuhan Dari Ketata Negaraan Kita.
“Terbatasnya calon yang akan maju dalam kontestasi Pilpres, membatasi potensi anak bangsa yang memiliki kapasitas dalam kepemimpinan nasional, juga terbatasnya saluran pilihan oleh konstituen terhadap sikap politiknya” — Wakil Ketua DPD RI, Sultan B Najamudin.
Hadir sebagai salah satu panelis dalam rilis hasil survey opini publik nasional SMRC dengan tema ‘Sikap Publik Nasional Terhadap Amandemen Presidensialisme dan DPD, Minggu (20/6/2021), ada beberapa poin menjadi masukan Wakil Ketua DPD RI, Sultan B Najamudin.
“Pertama yang ingin saya sampaikan bahwa bicara amandemen UUD 1945 harus dilihat murni dari kepentingan masa depan bangsa. Tidak boleh ada dari sudut kepentingan lain,” ujar Sultan yang juga mantan Wakil Gubernur Bengkulu.
Selain itu juga menurut Sultan, “Konstitusi itu dinamis sekali, sesuai dengan kondisi yang ada. Maka, namanya living constitution, konstitusi yang hidup. Tentu sangat terbuka dilakukan amandemen lagi, selama dasar dan tujuan tidak berubah.
Dari landasan tersebut Sultan menjelaskan bahwa amandemen ke-5 memang sudah semestinya dilakukan. Tentu dengan semangat dalam menyempurnakan dari amandemen sebelumnya (1 sampai 4).
Dalam pemaparannya, senator muda asal Bengkulu tersebut menuturkan persoalan kebangsaan sebenarnya bukan terletak di hilir (pemangku kebijakan), tetapi justru akarnya terletak disektor hulu, yaitu dimana konstitusi kita yang mesti disempurnakan.
“Bahwa sebenarnya ada masalah di tataran hulu kita sebagai bangsa. Kita tidak bisa meminta pemerintah berbuat lebih,” ujar Sultan.
Masih dalam paparan Sultan, kita tidak bisa menyalahkan pemerintah. Karena pemerintah hanya menjalankan Konstitusi dan Undang-Undang yang ada.
Oleh karena itu, kalau kita membenahi di sektor hilir, pekerjaan kita tidak akan menyelesaikan substansi dari permasalahan yang ada secara fundamental.
“Jadi Amandemen ke lima, harus kita songsong dengan menggelorakan semangat melakukan koreksi atas arah perjalanan bangsa dan negara ini,” tegasnya.
Sultan juga menyampaikan bahwa penting secara konstitusional untuk melihat DPD RI sebagai lembaga representatif yang merupakan perwakilan masyarakat di daerah. Maka, penataan fungsi kelembagaan DPD RI harus menjadi salah satu poin utama yang mesti didorong dalam wacana amandemen UUD 1945.
Adapun ungkapnya bahwa fakta menunjukan restrukturisasi parlemen atas kehendak UUD menciptakan tiga pilar utama dalam kamar legislasi Indonesia yakni MPR-DPR-DPD.
Secara konstitusional MPR bersifat incidental, DPR bersifat legislatif, sedangkan DPD bersifat co-legislatif.
“Pelaksanaan peran ketiga lembaga parlemen tersebut menimbulkan dinamika yang tidak seimbang,” demikian Sultan memaparkan diskriminasi peran, fungsi dan kewenangan dirasakan sangat mempengaruhi kualitas legislatif secara umum.
Sultan menyebut, DPR mendapat mandat penuh dari konstitusi sebagai lembaga legislatif, MPR secara fungsional lebih bersifat ad hock, sedangkan DPD tidak memiliki keistimewaan berarti selain hak saran dan usul.
Keberadaan lembaga Negara yang setara secara eksistensial, dengan legitimasi yang kuat dan senjang secara fungsional itu merupakan anomali dalam praktik parlemen Indonesia sehari-hari.
Sultan juga melanjutkan, tentu DPD RI sebagai kelembagaan sangat mendorong adanya keseimbangan dari fungsi dan wewenangnya. Maka penting melalui amandemen UUD 1945 ini dapat dijadikan momentum dalam merefleksikan beberapa permasalahan yang telah ditinggalkan oleh keputusan dimasa lalu.
“Maka kami (DPD RI) bersepakat bahwa amandemen kelima merupakan jawaban dari proses berlembaga dan menata ketatanegaraan kita yang bukan hanya berpikir pada kepentingan sesaat. Tapi menjangkau seluruh kepentingan bangsa jauh dimasa yang akan datang,” tutur Sultan
Dalam kesempatan ini, Sultan juga menyoroti mengenai Presidential Threshold yang dapat memberikan beberapa dampak negatif terhadap kehidupan demokrasi di Indonesia.
“Pemberlakuan presidential threshold sangat menganggu kehidupan demokrasi kita. Ada beberapa dampak yang mesti kita kaji secara bersama untuk dijadikan bahan evaluasi,” ujar Sultan.
Ia pun memberi misal, seperti terbatasnya calon yang akan maju dalam kontestasi Pilpres, membatasi potensi anak bangsa yang memiliki kapasitas dalam kepemimpinan nasional, juga terbatasnya saluran pilihan oleh konstituen terhadap sikap politiknya.
Bahkan, masih papar Sultan, “Hilangnya peran partai kecil dihadapan partai besar terhadap keputusan mengenai calon bersama. Maka kita mendorong UU Kepemiluan juga dapat mempertimbangkan penghapusan ambang batas tersebut.”
Jadi Amandemen ke-5 harus dijadikan momentum untuk melalukan koreksi
menyeluruh, harap Sultan.
Yang dimaksud Sultan adalah koreksi atas kekurangan dari Amandemen di tahun 1999 hingga 2002 silam. Dan kita bersama mesti memastikan didalamnya (amandemen) hanya ada semangat kolektif untuk membangun sebuah pedoman bersama dalam mencapai kehidupan bangsa Indonesia menjadi lebih baik.
Sultan juga meminta konstitusi kita juga mendukung persiapan agar indonesia bangkit menjadi bangsa yang berdaulat, besar dan mandiri.
Apalagi tahun 2045, bangsa ini akan memasuki bonus demografi. Dimana usia produktif akan mendominasi populasi penduduk.
Jika kita salah, bukan bonus demografi yang kita dapat, tapi bencana demografi berupa beban angkatan kerja yang akan kita hadapi.
Karena usia produktif melimpah, sementara lapangan kerja untuk anak bangsa tidak ada, maka dipastikan pengangguran dan kemiskinan akan meningkat.
“Dan selain itu yang terpenting amandemen harus tetap menjadi refleksi serta evaluasi kita bersama, khususnya sejauh mana telah berjalan sebagai perwujudan dari amanat reformasi,” tutur Sultan.
“Jadi amandemen adalah bukan hal tabu yang mesti diwacanakan, justru merupakan keniscayaan dalam perjalanan dalam kehidupan berbangsa,” tutup Sultan dalam acara Live Rilis Survei Opini Publik Nasional.
Gawean Webinar Saiful Mujani Research & Consulting (SMRC) dengan tema “Sikap Publik Nasional terhadap Amandemen Presidensialisme dan DPD” juga diikuti oleh beberapa panelis.
Panelis adalah Ade Armando (Direktur Komunikasi SMRC), Bivitri Susanti (Pendiri Pusat Studi Hukum dan Kebijakan), dan Ahmad Doli Kurnia Tanjung (Ketua Komisi II DPR RI – Golkar).
Juga sebagai panelis adalah Ahmad Basarah (Wakil Ketua MPR RI – PDI Perjuangan), Hidayat Nur Wahid (Wakil Ketua MPR RI – PKS), Lestari Moerdijat (Wakil Ketua MPR RI – NasDem), Benny K. Harman (Wakil Ketua Umum DPP Demokrat) dengan Moderator Tati Wardi (SMRC).
klik juga: Majalah MATRA edisi terbaru:
“Amandemen adalah bukan hal tabu yang mesti diwacanakan”