EKSEKUTIF.com – Meningkatnya kasus penyebaran Covid-19 membuat pemerintah kembali memberlakukan kebijakan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) di beberapa wilayah. Masyarakat kian resah akibat bantuan sosial tunai (bansos tunai/BST) yang tidak kunjung turun hingga saat ini.
Sebelumnya, pemerintah menjanjikan akan mencairkan BST pada bulan Juni, untuk BST yang akan diberikan untuk dua bulan, yaitu Mei dan Juni. Namun kini menjelang akhir bulan Juni, bantuan berupa uang sebesar 300 ribu rupiah tersebut tidak kunjung diterima masyarakat.
Ditambah lagi, situasi pandemi di bulan Juni ini yang tidak kunjung membaik. Jumlah kasus positif Covid-19 malah terus meningkat pesat. Pemerintah kembali membatasi aktivitas masyarakat di ruang publik. Di satu sisi, masyarakat kecil yang terdampak Covid-19 sudah nyaris tidak mempunyai pegangan uang untuk kebutuhan hidup.
Terpuruknya warga akibat dampak dari pandemi ini tercetus dari ungkapan ibu Yeyen (55). Dia merupakan Keluarga Penerima Manfaat (KPM) asal Kecamatan Sumur Batu, Bandung, Jawa Barat, tercatat berhak mendapatkan BST.
Sudah hampir dua bulan dia tidak menerima bantuan senilai Rp300 ribu itu. Untuk mengantisipasi biaya kebutuhan hidup, dia jual gorengan untuk mengisi warungnya. Namun, pendapatan sehari-harinya jelas tidak stabil akibat banyak orang mulai membatasi aktivitas di luar rumah.
Hal ini diperparah dengan kondisi suaminya yang positif mengidap covid-19. Dia membutuhkan biaya ekstra untuk mengobati suaminya dengan kondisi keuangan yang sangat terbatas. Suaminya pun dirumahkan oleh perusahaan, tempat dia bekerja. “Ibu butuh sekali BST itu. Bantuan Rp300 ribu itu sangat berharga sekali,” kata Yeyen saat ditemuai, baru-baru ini.
Dalam kondisi sekarang, kehidupan Yeyen sudah sangat terjepit tanpa BST. Ditambah, Kota Bandung kembali masuk zona merah. Peluang dia untuk mencari sampingan untuk menambah pendapatan semakin sulit.
Ia mengaku jika BST sudah cair, uang itu akan digunakan untuk membayar uang sekolah anaknya, dan biaya kebutuhan sehari-hari untuk makan, seperti beras dan lauk pauk. “Ibu perlu dana untuk kebutuhan biaya itu. Mudah-mudahan pemerintah dapat segera memberikan BST,” harap Yeyen.
Sementara itu, Yanti, masih dari kecamatan yang sama, merasa kecewa dengan pemerintah yang tidak kunjung menurunkan BST hingga saat ini. Sudah dua bulan ini dia menantikan BST dicairkan atau disalurkan melalui Pos Indonesia.
“Kecewa sekali untuk sekarang ini. Sekarang sudah tidak ada lagi beras dan telur juga. Saya berharap pemerintah dapat mempercepat (pencairan BST),” ujar Yanti.
Yanti bercerita, jualannya saat ini juga kurang laku pada masa pandemi. Penghasilan suaminya sebagai buruh lepas juga tidak stabil pada masa sulit ini. “(Pandemi) Berpengaruh sekali karena tidak bisa ke mana-mana. Jadi kalau (dagangan) ada yang beli, ya baru dapat uang. Untuk makan juga apa adanya saja,” keluhnya.
Pertanyakan Prioritas Pemerintah
Meskipun sudah pasti diperpanjang, namun Kementerian Sosial (Kemensos) belum melakukan langkah aktif untuk proses BST ini bisa segera cair. Sementara, Kementerian Keuangan dari informasi terakhir menyebutkan bahwa anggaran untuk BST bulan Mei dan Juni sebenarnya sudah tersedia. Namun, tidak ada pengajuan dari Kementerian Sosial ke legislatif dan kemenkeu.
Pihak dari legislator sebetulnya telah merespon soal BST tambahan di bulan Mei dan Juni ini. Anggota Komisi VIII DPR Lisda Hendrajoni bahkan sudah mendesak pemerintah untuk segera melakukan pencairan BST.
“Mengingat kondisi saat ini masyarakat kita sangat memerlukan bantuan dan perhatian. Jangan sampai ada anak bangsa yang tidak mendapatkan haknya,” kata Lisda.
Lisda juga mengingatkan kepada Kemensos dan pihak terkait untuk mengkajinya secara matang. Jangan sampai BST yang sudah dinantikan KPM tidak jelas kepastiannya. “Hak rakyat jangan ditunda. Apalagi lagi zaman susah begini,” imbuhnya
Namun, hingga saat ini pemerintah masih belum memberikan respon. “Kami menyarankan pemerintah untuk mengevaluasi pelaksanaan program BST yang berjalan pada 2020 dan 2021, untuk melihat sejauh mana efektivitas bantuan tersebut dalam meningkatkan perekonomian masyarakat,” kata Wakil Ketua DPR Azis Syamsuddin.
Selain BST, DPR juga meminta Kementerian terkait untuk mengevaluasi kembali data terpadu kesejahteraan sosial (DTKS) untuk menggantinya dengan penerima manfaat baru.
Beberapa waktu lalu, Menteri Sosial Tri Rismaharini didesak untuk menjelaskan temuan 21 juta data ganda penerima bantuan sosial (bansos) saat menghadiri rapat kerja bersama Komisi VIII DPR, Kamis (3/6/2021).
Anggota Komisi VIII DPR Jefry Romdonny meminta Risma menjelaskan rencana menidurkan 21 juta data ganda itu, sebelum membahas anggaran Kementerian Sosial 2022. “Ini mungkin kami perlu penjelasan, sebenarnya bagaimana. Jadi rasanya kalau yang 21 juta ini masih belum jelas, saya rasa kita belum bisa membahas mengenai anggaran,” kata Jefry dalam rapat, Kamis (3/6/2021).
Sementara itu, anggota Komisi VIII DPR Rudi Hartono menambahkan, Risma juga perlu menjelaskan karena permasalahan data tersebut sudah terjadi sejak 10 tahun yang lalu atau tepatnya pada masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).
Hal yang justru menjadi ambigu adalah pada jumlah penerima bansos itu sendiri. Bila benar temuan Menteri Risma ada sebanyak 21 juta data ganda, maka semua penerima bantuan selama ini adalah tidak nyata. Karena jumlah penerima bantuan sosial untuk Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT) sendiri hanya 20 juta Keluarga Penerima Manfaat (KPM). Bagaimana mungkin jumlah data gandanya melebihi jumlah penerima bantuan sosial tersebut?
Namun, segala polemik terkait bantuan sosial khususnya bansos tunai, semakin tidak jelas seiring sudah hampir berakhirnya bulan Juni. Saatnya menagih pemerintah yang dua bulan lalu memberi kabar gembira tentang tambahan BST untuk bulan Mei dan Juni. (ACH)