EKSEKUTIF.com — Tahun 2025 menjadi penanda penting. Java Jazz Festival genap berusia dua dekade. Dari panggung pertama hingga yang akan digelar kembali pada 31 Mei hingga 1 Juni 2025, perjalanan ini tidak pernah ditempuh sendirian.
Tidak seperti biasanya, suasana konferensi pers Jakarta International BNI Java Jazz Festival tahun ini terasa haru. Bukan sekadar pengumuman artis atau bocoran kejutan panggung, konferensi pers justru jadi ajang menengok ke belakang tentang bagaimana festival ini mulanya berdiri.
Suasana hening ketika Presiden Direktur Java Festival Production, Dewi Gontha, membuka acara. Namun, dia tak berucap banyak. Dewi memilih menyerahkan momen pertama Java Jazz memasuki edisi ke-20 ini kepada sang ayah, Peter F Gontha, sosok di balik sejarah panjang festival ini.
“Sebelum lanjut, saya izin karena ini edisi 20 tahun, saya ingin memanggil ayah saya kalau boleh untuk naik ke atas panggung untuk mengucapkan satu atau dua patah kata,” ucap Dewi.
Peter F Gontha pun maju ke atas panggung, tidak lagi sebagai pengusaha, diplomat, atau tokoh media, tetapi seorang pemimpi. Begitu katanya saat memperkenalkan diri.
“Hari ini adalah hari yang sangat emosional dan membahagiakan bagi saya secara pribadi, juga mungkin seluruh pencinta jazz di Indonesia,” ungkap Peter yang bercerita 20 tahun lalu, saat pertama kali menggagas Java Jazz, banyak yang mengira itu hanyalah mimpi. Bahkan, lanjutnya, mungkin terlalu besar diwujudkan pada tahun tersebut.
Namun, dirinya percaya dan terus percaya, bahwa Indonesia juga punya potensi, semangat, dan talenta untuk menghadirkan sebuah festival musik jazz kelas dunia yang membanggakan.
“Yang membahagiakan adalah kami kemudian tidak berjalan sendiri. Di sini ada mitra-mitra kami yang terus bekerja dalam diam, juga media yang menyebarkan semangat Java Jazz ke seluruh penjuru negeri dan dunia,” imbuhnya.
Dalam momen yang penting peryaan dua dekade ini, Peter mencoba merangkum perjalanannya membesarkan Java Jazz ke dalam sebuah buku. Buku tersebut bertajuk The Making of Java Jazz Festival.
Peter mengatakan buku ini berisi catatan perjalanan, refleksi panjang, sekaligus ungkapan terima kasih. Buku ini juga berisi banyak cerita kenangan, momen-momen tak terlupakan, dan kisah-kisah di balik penyelenggaraan sebuah festival yang tadinya hanya terselip di obrolan-obrolan para pengurus.
“Tentu saja, dalam 20 tahun, ada peluh, tekanan, ada krisis, ada air mata. Tapi, yang lebih kuat dari semua itu ada cinta. Cinta pada musik, cinta pada Indonesia, dan cinta pada mimpi-mimpi kita bersama,” tegasnya.
Peter menegaskan bahwa 20 tahun ini hanyalah awal. Ke depan, lanjutnya, masih banyak nada yang harus dimainkan. Dia menyebut Java Jazz juga selalu punya peran untuk meregenerasi musisi muda dalam berkarya.
Dia berharap buku ini bisa menjadi kenangan, harapan, sekaligus penghargaan atas apa-apa yang sudah dilakukan dua dekade terakhir.
“Media bukan sekadar peliput. Mereka adalah nadi. Mereka menjaga semangat Java Jazz tetap hidup, bahkan di masa sulit seperti saat pandemi COVID-19,” ungkap Peter F Gontha tentang 20 Tahun Java Jazz: Sebuah Perayaan Cinta, Musik, dan Kolaborasi.
Dari atas panggung Peter F Gontha memberi buku Buku The Making of Java Jazz: 20 Tahun, berbahasa Inggris dengan tebal 506 halaman dengan cover luks ekslusif kepada SS Budi Raharjo, Pemred Majalah MATRA yang juga CEO majalah EKSEKUTIF.
“Buku ini adalah ungkapan terima kasih. Kepada semua yang pernah percaya, mendukung, dan menjadi bagian dari mimpi ini. Ini bukan buku saya. Ini milik kita semua,” ujar PFG tentang The Making of Java Jazz: 20 Tahun dibagi gratis ke media dan relasi serta sponsor.
PFG pun menegaskan bahwa para sponsor bukan hanya mitra finansial, melainkan bukti bahwa seni dan dunia usaha bisa berjalan beriringan membangun bangsa dan budaya.
Festival Java Jazz ini adalah hasil kerja kolektif: para sponsor yang setia mendukung bahkan saat orang lain ragu, mitra yang bekerja dalam diam, media yang tak henti menulis, meliput, dan menyebarluaskan semangat Java Jazz, serta para relawan dan tim produksi yang menjadi tulang punggung di balik layar.
Menyajikan bukan hanya kronologi sejarah, tetapi juga fragmen kenangan—tentang Jamz Club di Blok M, tentang perjalanan tematik festival dari tahun ke tahun, dan tentang orang-orang yang mewarnai panggung-panggung Java Jazz.
“Dalam setiap harmoni, ada kenangan. Dalam setiap melodi, ada harapan,” ujar PFG. Bagi dirinya, Java Jazz adalah bentuk rasa syukur, juga penghormatan. Salah satunya kepada sang ayah, sosok yang pertama kali memperkenalkan musik dan membuka jendela dunia jazz.
“Beliau bukan hanya seorang ayah—tetapi juga mentor, penuntun hidup, dan sosok yang paling memengaruhi arah hidup saya,” katanya penuh haru.
Disingkap juga di buku ini tentang kehidupan, tentang cinta—ke tanah kelahirannya. Ketika remaja seusianya larut dalam musik arus utama, PFG justru jatuh hati pada tiupan saksofon dan denting piano swing.
PFG menyadari sejak awal bahwa jazz bukan hanya musik. Jazz adalah cara bernapas, cara merasa, dan cara memahami dunia. Bagaimana ia ke Jakarta, menemukan ruang untuk bertumbuh dan terlibat lebih jauh dalam dunia musik.
Di Jakarta tempat para pemimpi, pencipta, dan penggerak bertemu, Peter menyatu dengan komunitas musisi, mengalami jam session yang membekas di ingatan, dan menyadari bahwa musik sejatinya adalah tentang berbagi jiwa. Secuplik kisah dengan sang istri Purnama juga disingkap.
Ia menemukan bahwa musik sejati tak hanya terdengar, tapi dirasakan—dalam keluarga, dalam cinta, dan dalam kehidupan yang mereka bangun bersama. Kini, diteruskan oleh Dewi Gontha sang anak yang meneruskan Java Jazz Festival yang lahir pada 2005.
Java Jazz bukan sekadar festival musik. Ia adalah gerakan budaya. Sebuah panggung yang menyatukan ribuan jiwa dalam bahasa yang universal: jazz. Ia menjadi titik temu antara musisi lokal dan internasional, antara nostalgia dan eksplorasi baru, antara masa lalu dan masa depan.