Dialog dan Diskusi di Radio Elshinta: ‘Kembalinya Jamaah Islamiyah ke Pangkuan NKRI’

EKSEKUTIF.comDialog dan Diskusi di Radio Elshinta: “Kembalinya Jamaah Islamiyah ke Pangkuan NKRI”

Pada hari Selasa, 9 Juli 2024, Radio Elshinta menggelar sebuah diskusi yang sangat dinantikan oleh banyak kalangan.

Acara ini menghadirkan dua narasumber penting, yaitu Antonius Benny Susetyo, Staff Khusus Ketua Dewan Pengarah BPIP, dan Gus Islah Bahrawi, seorang cendekiawan Muslim terkemuka.

Diskusi ini berfokus pada informasi  dari Jamaah Islamiyah (JI) tentang pembubaran organisasinya dan kembalinya ke pangkuan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang terjadi pada Minggu, 30 Juni 2024.

Mantan amir atau ketua JI, Abu Rusdan, juga menyatakan kesiapannya untuk turut terlibat aktif dalam mengisi kemerdekaan.

Perbincangan ini membahas metode deradikalisasi yang diterapkan dengan pendekatan humanis dan non-kekerasan, yang dianggap berhasil dalam mengubah pola pikir para mantan pengikut organisasi radikal ini kembali kepada nilai-nilai Pancasila.

Selain itu, diskusi juga menyoroti metode yang tepat dan efektif untuk menjaga kontinuitas deradikalisasi tersebut.

Antonius Benny Susetyo membuka diskusi dengan menyoroti makna penting dari pembubaran Jamaah Islamiyah.

“Pembubaran Jamaah Islamiyah adalah langkah yang sangat besar dalam sejarah upaya deradkalisasi  di Indonesia,” ujarnya.

Ia menjelaskan bahwa  informasi  ini bukan sekadar formalitas, melainkan cerminan perubahan paradigma dalam pola pikir para mantan anggota JI.

Benny menyebut bahwa keputusan ini menunjukkan keberhasilan program deradikalisasi yang dilakukan.

Lebih lanjut, Benny menjelaskan bahwa selama bertahun-tahun, JI dikenal sebagai organisasi   yang memiliki jaringan luas dan struktur yang solid.

Mereka telah terlibat dalam berbagai aksi yang menciptakan ketakutan di masyarakat.

“Ketika sebuah organisasi sebesar dan sekuat JI memutuskan untuk membubarkan diri dan kembali ke pangkuan NKRI, itu berarti ada perubahan fundamental dalam cara mereka melihat dunia,” kata Beni.

Ia pun menegaskan, dalam pendekatannya yang lebih filosofis, menambahkan bahwa pembubaran ini menunjukkan adanya keinginan kuat dari para mantan anggota JI untuk memperbaiki diri dan kembali ke jalan yang benar.

“Ini adalah sebuah tanda bahwa ada kesadaran yang tumbuh dalam diri mereka, bahwa jalan yang mereka pilih sebelumnya adalah keliru, kita juga perlu  mengapresiasi peran ulama dan tokoh masyarakat dalam proses deradikalisasi ini.

Menurutnya, tanpa dukungan dari tokoh agama yang dihormati, proses deradikalisasi tidak akan berjalan efektif”.

Antonius Benny Susetyo kemudian menjelaskan lebih lanjut tentang metode deradikalisasi melalui pendekatan humanis dan non-kekerasan adalah kunci utama dalam mengubah pola pikir para mantan anggota organisasi radikal.

“Kita mengedepankan dialog, pendidikan, dan pemahaman yang mendalam tentang nilai-nilai Pancasila,” kata Benny.

Ia juga menambahkan bahwa pendekatan ini melibatkan berbagai pihak, termasuk keluarga, tokoh agama, dan masyarakat.

Pendekatan humanis yang dimaksud oleh Benny mencakup berbagai strategi yang bertujuan untuk menyentuh hati dan pikiran para mantan anggota JI.

Salah satu strategi tersebut adalah mengadakan dialog secara berkala antara mantan anggota JI dengan para tokoh agama dan masyarakat.

“Dalam dialog ini, kita tidak hanya berbicara tentang ideologi, tetapi juga tentang nilai-nilai kemanusiaan dan pentingnya hidup damai dalam masyarakat,” jelas Benny.

Selain itu, lebih lanjut dipandang perlu  juga mengadakan berbagai program pendidikan yang bertujuan untuk meningkatkan pemahaman para mantan anggota JI tentang Pancasila dan nilai-nilai kebangsaan.

“Perlu  kelas-kelas khusus yang diajarkan oleh para pakar dan ulama yang memiliki pemahaman mendalam tentang Pancasila,” tambah Benny.

Program pendidikan ini tidak hanya terbatas pada teori, tetapi juga mencakup kegiatan praktik yang mengajarkan keterampilan hidup dan kerja sama dalam masyarakat.

Gus Islah Bahrawi menekankan pentingnya pendekatan personal dalam proses deradikalisasi.

“Kita tidak bisa hanya mengandalkan program pemerintah. Harus ada pendekatan personal yang melibatkan hati dan perasaan,” ujarnya.

Ia juga mengapresiasi upaya Pemerintah  dalam menyediakan fasilitas dan dukungan psikologis bagi para mantan anggota JI.

“Mereka perlu merasa diterima dan didukung dalam proses ini,” tambahnya. Gus Islah menjelaskan bahwa pendekatan personal yang dimaksud melibatkan para mantan anggota JI dalam kegiatan sosial dan kemasyarakatan.

“Kami mengajak mereka untuk terlibat dalam kegiatan-kegiatan positif di lingkungan mereka, seperti gotong royong, kegiatan keagamaan, dan berbagai aktivitas lainnya yang dapat membuat mereka merasa menjadi bagian dari masyarakat,” ujarnya.

Dengan cara ini, para mantan anggota JI dapat merasakan bahwa mereka diterima dan dihargai oleh masyarakat, yang pada gilirannya dapat mempercepat proses deradikalisasi.

Dalam diskusi ini, kedua narasumber sepakat bahwa pendidikan dan pemahaman tentang nilai-nilai Pancasila adalah elemen penting dalam deradikalisasi.

Antonius Benny Susetyo menjelaskan bahwa Pemerintah  telah mengembangkan kurikulum khusus yang mengajarkan nilai-nilai Pancasila kepada para mantan anggota JI.

“Pendidikan adalah senjata paling ampuh dalam melawan radikalisme,” katanya. Ia juga menambahkan bahwa kurikulum ini dirancang untuk mengajarkan toleransi, perdamaian, dan cinta tanah air.

Benny menjelaskan bahwa kurikulum ini mencakup berbagai materi yang diajarkan oleh para ahli dan praktisi di bidangnya.

“Kami melibatkan para pakar di bidang pendidikan, psikologi, dan sosiologi untuk merancang kurikulum yang komprehensif dan efektif,” ujarnya.

Kurikulum ini mencakup mata pelajaran seperti sejarah Indonesia, Pancasila dan UUD 1945, pendidikan kewarganegaraan, serta pendidikan karakter.

“Tujuan utama dari kurikulum ini adalah untuk membentuk pribadi yang cinta tanah air, toleran, dan memiliki jiwa kebangsaan yang kuat,” tambah Benny.

Gus Islah Bahrawi menyambut baik inisiatif ini dan menambahkan bahwa pendidikan tentang Pancasila harus dimulai sejak dini.

“Kita harus menanamkan nilai-nilai Pancasila kepada anak-anak sejak mereka masih di bangku sekolah dasar,” ujarnya.

Ia juga menekankan pentingnya peran keluarga dalam pendidikan ini. “Keluarga adalah sekolah pertama bagi anak-anak,” tambahnya.

Menurut Gus Islah, pendidikan tentang Pancasila tidak hanya harus dilakukan di sekolah, tetapi juga di rumah dan lingkungan sekitar.

“Orang tua harus menjadi teladan yang baik bagi anak-anak mereka. Mereka harus mengajarkan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan sehari-hari,” ujarnya.

Ia juga menyarankan agar masyarakat lebih aktif dalam menyelenggarakan kegiatan-kegiatan yang dapat meningkatkan pemahaman dan pengamalan nilai-nilai Pancasila.

“Misalnya, kita bisa mengadakan lomba-lomba yang bertema Pancasila, diskusi-diskusi tentang kebangsaan, dan kegiatan-kegiatan lain yang dapat memperkuat rasa cinta tanah air,” tambahnya.

Salah satu tantangan terbesar dalam deradikalisasi adalah menjaga kontinuitas program ini. Antonius Benny Susetyo menjelaskan bahwa Pemerintah  terus berupaya untuk memastikan bahwa program deradikalisasi berjalan dengan baik dan berkelanjutan.

“Kita harus terus memantau dan mendukung para mantan anggota JI, bahkan setelah mereka kembali ke masyarakat,” ujarnya.

Ia juga menekankan pentingnya kerjasama antara pemerintah, masyarakat, dan berbagai lembaga dalam menjaga kontinuitas ini.

Perlu untuk selalu  memantau perkembangan para mantan anggota JI setelah mereka kembali ke masyarakat.

“Tim ini bertugas untuk memastikan bahwa mereka tetap mendapatkan dukungan yang mereka butuhkan, baik dalam bentuk psikologis, sosial, maupun ekonomi,” ujarnya.

Pemerintah  juga bekerja sama dengan berbagai lembaga dan organisasi untuk menyediakan pelatihan kerja dan bantuan sosial bagi para mantan anggota JI.

“Kami ingin mereka dapat hidup mandiri dan berkontribusi positif bagi masyarakat,” tambah Benny.

Gus Islah Bahrawi menambahkan bahwa tantangan terbesar adalah mengubah stigma yang melekat pada para mantan anggota JI.

“Mereka sering kali dihadapkan pada diskriminasi dan penolakan dari masyarakat,” ujarnya.

Ia mengajak masyarakat untuk lebih terbuka dan menerima para mantan anggota JI. “Kita harus memberikan mereka kesempatan kedua,” tambahnya.

Menurut Gus Islah, untuk mengatasi stigma ini, perlu adanya kampanye yang menyeluruh dan berkelanjutan tentang pentingnya deradikalisasi dan reintegrasi sosial.

“Kita perlu mengedukasi masyarakat tentang pentingnya memberikan kesempatan kedua bagi para mantan anggota JI,” ujarnya.

Ia juga menyarankan agar pemerintah dan masyarakat bekerja sama dalam menyelenggarakan kegiatan-kegiatan yang dapat memperkuat integrasi sosial para mantan anggota JI.

“Misalnya, kita bisa mengadakan acara-acara yang melibatkan mereka dalam kegiatan-kegiatan sosial dan keagamaan,” tambahnya.

Pada bagian akhir diskusi, kedua narasumber membahas tentang masa depan para mantan anggota JI dalam mengisi kemerdekaan.

Antonius Benny Susetyo menegaskan bahwa perelu untuk   terus mendukung para mantan anggota JI dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk pendidikan, pelatihan kerja, dan bantuan sosial.

“Kita ingin mereka bisa berkontribusi positif bagi bangsa dan negara,” ujarnya.

Ia juga mengajak para mantan anggota JI untuk terus belajar dan berkembang.

Benny menjelaskan bahwa perlu banyak program pelatihan kerja yang dirancang khusus untuk para mantan anggota JI.

“Dengan menyediakan pelatihan di berbagai bidang, mulai dari pertanian, perikanan, hingga keterampilan teknis seperti mekanik dan elektronik diharapkan para mantan anggota JI akan siap untuk kembal i ke masyarakat ,” ujarnya.

Selain itu, pemerintah akan  terus bekerja sama dengan berbagai perusahaan dan lembaga untuk menyediakan kesempatan kerja bagi para mantan anggota JI.

“Kami ingin memastikan bahwa mereka memiliki keterampilan yang cukup untuk bisa hidup mandiri dan berkontribusi positif bagi masyarakat,” tambahnya.

Gus Islah Bahrawi menutup diskusi dengan pesan yang penuh harapan.

“Kita semua adalah bagian dari bangsa ini. Mari kita bersama-sama membangun Indonesia yang lebih baik, dengan nilai-nilai Pancasila sebagai panduan kita,” ujarnya.

Ia juga mengajak para mantan anggota JI untuk aktif berpartisipasi dalam kegiatan sosial dan kemasyarakatan.

“Jangan pernah merasa sendiri. Kita semua ada untuk mendukung kalian,” tambahnya. keterlibatan aktif para mantan anggota JI dalam kegiatan sosial dan kemasyarakatan adalah salah satu cara terbaik untuk mempercepat proses reintegrasi sosial.

“Dengan terlibat dalam kegiatan-kegiatan positif, mereka bisa membuktikan kepada masyarakat bahwa mereka telah berubah dan siap untuk berkontribusi positif,” ujarnya.

Ia juga menyarankan agar masyarakat lebih aktif dalam mendukung dan memberikan kesempatan kepada para mantan anggota JI.

“Kita harus bersama-sama membangun masyarakat yang lebih inklusif dan toleran,” tambahnya.

Dialog dan diskusi di Radio Elshinta pada 9 Juli 2024 ini memberikan wawasan yang mendalam tentang proses deradikalisasi dan kembalinya Jamaah Islamiyah ke pangkuan NKRI.

Melalui pendekatan humanis dan non-kekerasan, BNPT berhasil mengubah pola pikir para mantan anggota organisasi radikal ini.

Pendidikan tentang nilai-nilai Pancasila menjadi kunci utama dalam proses ini, yang harus dimulai sejak dini dan melibatkan berbagai pihak, termasuk keluarga dan masyarakat.

Tantangan terbesar dalam deradikalisasi adalah menjaga kontinuitas program dan mengubah stigma yang melekat pada para mantan anggota JI.

Namun, dengan kerjasama antara pemerintah, masyarakat, dan berbagai lembaga, tantangan ini dapat diatasi.

Masa depan para mantan anggota JI diharapkan bisa lebih baik, dengan kontribusi positif mereka dalam mengisi kemerdekaan dan membangun Indonesia yang lebih damai dan toleran.

Diskusi ini juga menggarisbawahi pentingnya peran pendidikan dalam proses deradikalisasi.

Pendidikan tentang nilai-nilai Pancasila harus dimulai sejak dini dan melibatkan berbagai pihak, termasuk keluarga dan masyarakat.

Hanya dengan cara ini, kita bisa membentuk generasi yang cinta tanah air, toleran, dan memiliki jiwa kebangsaan yang kuat.

Selain itu, pentingnya pendekatan personal dan dukungan psikologis juga ditekankan dalam diskusi ini.

Para mantan anggota JI perlu merasa diterima dan didukung oleh masyarakat agar proses deradikalisasi bisa berjalan dengan efektif.

Dengan terlibat dalam kegiatan-kegiatan sosial dan kemasyarakatan, mereka bisa membuktikan bahwa mereka telah berubah dan siap untuk berkontribusi positif bagi bangsa dan negara.

Akhirnya, diskusi ini juga memberikan harapan bahwa dengan kerjasama antara pemerintah, masyarakat, dan berbagai lembaga, kita bisa mengatasi tantangan dalam proses deradikalisasi dan menjaga kontinuitas program ini.

Dengan dukungan yang tepat, para mantan anggota JI bisa hidup mandiri dan berkontribusi positif bagi masyarakat, sehingga kita bisa membangun Indonesia yang lebih damai, toleran, dan inklusif.

Dialog ini tidak hanya membuka mata publik tentang pentingnya deradikalisasi, tetapi juga menginspirasi banyak pihak untuk terus mendukung upaya-upaya yang dilakukan dalam rangka menjaga keutuhan

NKRI dan menguatkan nilai-nilai Pancasila di tengah masyarakat. Mari kita bersama-sama membangun Indonesia yang lebih baik, dengan nilai-nilai Pancasila sebagai panduan kita.

 

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.