EKSEKUTIF.com — Tak terasa moment Lebaran Idul Fitri 2025 sudah dekat. Bagi para karyawan, pegawai atau pekerja formal, momen lebaran identik dengan Tunjangan Hari Raya (THR) yang banyak ditunggu untuk memenuhi berbagai kebutuhan.
Lantas, bagaimana untuk pekerja lepas atau mitra kerja di era ekonomi gig atau sejenisnya?
Ekonomi gig adalah sistem ekonomi di mana individu bekerja secara fleksibel berdasarkan proyek, tugas, atau permintaan tertentu, tanpa adanya kontrak kerja tetap seperti dalam pekerjaan konvensional.
Pekerja dalam ekonomi gig—dikenal sebagai pekerja gig—umumnya mengandalkan platform digital untuk mendapatkan pekerjaan, seperti aplikasi ride-hailing, marketplace jasa, atau platform freelance. Model ini memberikan kebebasan bagi pekerja untuk menentukan jadwal dan jumlah pekerjaan yang mereka ambil.
Kemudian, pekerja gig adalah individu yang bekerja dalam sistem ekonomi gig, di mana mereka mendapatkan penghasilan berdasarkan tugas atau proyek tertentu tanpa adanya hubungan kerja tetap.
Di Indonesia, kategori pekerja gig mencakup, (1) mitra pengemudi dan kurir seperti pengemudi ojek online serta kurir layanan pengantaran makanan dan barang; (2) pekerja lepas seperti desainer grafis, penulis, fotografer, penerjemah, editor, hingga programmer; (3) pekerja di platform jasa, termasuk teknisi, tukang, penyedia layanan kecantikan, dan kesehatan; (4) pekerja kreatif seperti influencer, YouTuber, dan content creator; (5) instruktur dan konsultan online, misalnya guru les privat, tutor, dan pelatih kebugaran; (6) serta pekerja di ekosistem marketplace seperti dropshipper, reseller, serta admin media sosial atau customer service lepas juga termasuk dalam kategori pekerja gig.
Mereka bekerja secara fleksibel tanpa kontrak kerja tetap, sering kali mengandalkan platform digital sebagai penghubung dengan pelanggan.
Di Indonesia, sektor ini telah berkembang menjadi sektor yang krusial bagi perkembangan ekonomi nasional karena memberi berbagai manfaat bagi pekerja, masyarakat, dan ekonomi secara keseluruhan.
Lalu, ekonomi gig di Indonesia juga mengambil bentuk yang unik, terutama sebagai transisi dari sektor informal ke semi-formal.
Di negara-negara maju, ekonomi gig seringkali merupakan bagian dari proses peralihan pekerjaan dari informal menjadi formal. Namun, di Indonesia, peralihan tersebut lebih menuju semi-formal, menyesuaikan dengan budaya dan kebutuhan lokal.
Penelitian terbaru yang dirilis oleh SBM ITB bertajuk “Industri Ride-Hailing 2023” menunjukkan bahwa sektor ini berkontribusi besar terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) nasional, yaitu sekitar Rp 382,62 triliun atau setara dengan 2 persen dari total PDB Indonesia tahun 2022.
Penelitian yang melibatkan lebih dari 2.500 responden ini mencakup pengguna jasa, mitra pengemudi ojol, serta pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM).
Salah satu manfaat signifikan dari ekonomi gig bagi pekerja adalah kebebasan dalam menentukan waktu dan tempat kerja, yang tidak tersedia dalam pekerjaan formal.
Dengan fleksibilitas ini, banyak pekerja gig dapat menyeimbangkan pekerjaan mereka dengan komitmen lain, seperti pendidikan, pengasuhan anak, atau pekerjaan sampingan lainnya.
Fleksibilitas ini membuat ekonomi gig menjadi pilihan menarik bagi masyarakat luas, termasuk mereka yang memiliki keterbatasan akses ke pekerjaan formal.
Selain memberikan fleksibilitas, ekonomi gig juga berkontribusi dalam pengembangan keterampilan pekerja. Bekerja di sektor gig memungkinkan individu untuk memperoleh pengalaman baru dan meningkatkan keterampilan mereka, baik di bidang digital maupun keterampilan lain yang relevan dengan pekerjaan mereka.
Hal ini penting bagi pekerja yang ingin beralih ke pekerjaan formal atau mengembangkan karir di masa depan. Dalam beberapa kasus, keterampilan yang diperoleh di sektor gig bahkan dapat membuka peluang bagi mereka untuk memulai usaha sendiri.
Dalam beberapa tahun terakhir di Indonesia, tren pekerja sebagai mitra atau partner di era ekonomi gig sudah semakin berkembang pesat dengan hadirnya berbagai aplikator, salah satunya yaitu menjadi mitra driver atau pengemudi ojek online (Ojol) maupun kurir online.
Terlebih, setelah ramainya tuntutan para mitra online ini untuk mendapatkan THR dan diangkat menjadi pekerja tetap aplikator.
Polemik mengenai status mitra dan tuntutan pemberian Tunjangan Hari Raya (THR) kepada aplikator terus menjadi sorotan di berbagai media massa di Indonesia.
Seiring dengan berkembangnya ekonomi digital, muncul perdebatan mengenai apakah mitra pengemudi seharusnya diklasifikasikan sebagai pekerja tetap atau masih tetap dalam hubungan kemitraan sebagaimana yang berlaku saat ini.
Terhadap tuntutan THR ini, Pemerintah pun mulai terlibat dengan menciptakan beberapa inisiatif hingga berencana mewajibkan pemberian THR bagi mitra platform digital yang tentunya juga menuai pro dan kontra.
Serikat Pekerja Angkutan Indonesia (SPAI) mendesak pemerintah agar menetapkan regulasi yang mewajibkan perusahaan ride-hailing memberikan THR dalam bentuk tunai, bukan insentif.
Namun, kebijakan ini dinilai dapat menjadi beban tambahan bagi perusahaan dan berisiko menghambat pertumbuhan industri ini ke depan. Apalagi saat ini, perusahaan berbasis platform digital masih menghadapi tantangan keuangan, meskipun beberapa sudah mencapai profitabilitas.
Jika biaya tambahan seperti THR diwajibkan, tentu akan menambah beban baru dan keberlangsungan jangka panjang perusahaan akan terkena dampaknya.
Bisa saja perusahaan memilih untuk menaikkan harga tarif layanan yang pada akhirnya berdampak pada konsumen. Perusahaan juga bisa melakukan penghapusan program-program benefit untuk
Mitra yang selama ini telah diberikan, atau bahkan terpaksa melakukan pemutusan hubungan kerja secara massal untuk mengurangi biaya operasional.
Belajar dari kasus di Inggris, ketika Uber diwajibkan membayar tunjangan tambahan bagi mitranya, harga layanan naik sebesar 10-20%. Namun, dampaknya adalah penurunan permintaan hingga 15%, yang justru merugikan pengemudi dan perusahaan.
Jika kebijakan serupa diterapkan di Indonesia, ada potensi efek domino yang dapat menekan industri ini secara keseluruhan.
Beberapa kota dan negara telah mengalami dampak negatif akibat reklasifikasi pekerja gig yang terlalu kaku. Contoh Spanyol, setelah pemerintah menerapkan undang-undang ketenagakerjaan yang mewajibkan pengemudi menjadi karyawan tetap, beberapa platform ride-hailing utama seperti Uber dan Deliveroo mengurangi jumlah pengemudi hingga 50%.
Akibatnya, banyak pekerja gig kehilangan pekerjaan dan fleksibilitas yang mereka andalkan untuk mencari penghasilan tambahan.
Kemudian, di New York, penerapan regulasi upah minimum bagi pekerja gig menyebabkan biaya operasional meningkat hingga 15%, yang membuat platform menaikkan komisi dan mengurangi jumlah insentif bagi mitra pengemudi. Beberapa pengemudi mengalami penurunan pendapatan bersih akibat lonjakan biaya layanan.
Agung Yudha, Direktur Eksekutif Asosiasi Mobilitas dan Pengantaran Digital Indonesia (Modantara) – asosiasi yang menaungi pelaku industri mobilitas dan pengantaran berbasis platform digital di Indonesia, memahami semangat gotong royong dalam mendukung Mitra di Hari Raya serta menghargai perhatian pemerintah terhadap Mitra platform digital.
Namun katanya, perlu diingat jika kebijakan yang diatur tidak berimbang maka berpotensi menimbulkan dampak ekonomi serius bagi industri berkembang yang memiliki ekosistem bisnis yang unik, dibandingkan sektor konvensional.
Dalam praktiknya, pelaku industri on-demand masih menghadapi berbagai tantangan dalam mengusahakan pertumbuhan bisnisnya yang berkelanjutan.
“Sebagai informasi, selama ini pelaku industri on-demand di Indonesia juga telah menjalankan berbagai inisiatif, antara lain bantuan modal usaha, beasiswa pendidikan bagi anak Mitra, serta pemberian paket bahan pokok dan perawatan kendaraan dengan harga khusus, sebagai bagian dari upaya untuk menjaga pendapatan Mitra.”
“Diberlakukannya kebijakan baru terkait Bantuan Hari Raya (BHR) ini, bisa berpotensi membuat pelaku industri harus melakukan berbagai penyesuaian bisnis yang dapat berdampak pada pengurangan program kesejahteraan jangka panjang yang selama ini telah diberikan untuk Mitra,” ujarnya pada pernyataan pers (20/02/2025).
Lebih lanjut dikatakan, saat ini, sektor platform digital (aplikator) telah memberikan akses bagi jutaan individu untuk memperoleh penghasilan alternatif dengan fleksibilitas tinggi, sebuah karakteristik utama yang menjadi daya tarik industri ini.
Berdasarkan data ITB (2023), model kerja fleksibel ini bahkan telah berkontribusi pada 2% dari PDB Indonesia pada tahun 2022.
“Oleh karena itu, penting untuk memastikan bahwa setiap kebijakan yang diterbitkan, jangan sampai justru menghambat pertumbuhan atau bahkan membatasi manfaat yang telah diberikan kepada para Mitra,” tambahnya.
Ia juga mengutip Survei Angkatan Kerja Nasional (SAKERNAS) BPS, Indonesia memiliki 84,2 juta pekerja informal, dengan 41,6 juta di antaranya sebagai pekerja gig. Dari jumlah tersebut, sekitar 1,8 juta atau 4,6% bekerja di layanan ride-hailing seperti ojek dan taksi online.
“Itu artinya, regulasi yang kurang tepat pasti dapat berdampak pada jutaan individu yang menggantungkan hidupnya pada industri ini,” tegasnya.
Prof. Dr. Aloysius Uwiyono, S.H., M.H. (Guru Besar Hukum Perburuhan Universitas Trisakti, sebelumnya Guru Besar Hukum Perburuhan Universitas Indonesia tahun 2002-2022) juga telah melakukan kajian opini berdasarkan dasar hukum ketenagakerjaan di Indonesia terkait polemik ini dalam perspektif bertajuk “Membedah Status Kemitraan dan Polemik THR bagi Mitra Pengemudi di Indonesia” (tertanggal 25 Februari 2025).
Menurutnya, regulasi yang mengarah pada pengubahan status ini bukan hanya berdampak pada industri ride-hailing, tetapi juga pada ekosistem investasi dan keberlanjutan ekonomi digital di Indonesia.
Menurut, Prof. Uwiyono (sapaannya), regulasi yang mengarah pada pengubahan status mitra ini bukan hanya berdampak pada industri ride-hailing, tetapi juga pada ekosistem investasi, keberlanjutan ekonomi digital di Indonesia, serta peluang kerja dan kesejahteraan jutaan mitra pengemudi dan keluarga mereka.
Selain itu, dampaknya bisa merembet ke berbagai sektor lain yang bergantung pada layanan ride-hailing, termasuk UMKM, pariwisata, hingga logistik, yang semuanya berperan penting dalam pertumbuhan ekonomi nasional.
Ia juga menambahkan bahwa secara yuridis, hubungan antara mitra pengemudi dan perusahaan aplikasi merupakan hubungan kemitraan, bukan hubungan kerja.
Hal ini dipertegas oleh Pasal 15 Ayat (1), Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 12 Tahun 2019 tentang Pelindungan Keselamatan Pengguna Sepeda Motor Yang digunakan Untuk Kepentingan Masyarakat, yang secara eksplisit menyebutkan bahwa hubungan antara perusahaan aplikasi dengan pengemudi adalah hubungan kemitraan. Sehingga, secara politis, kewenangan Kementerian Tenaga Kerja hanya terbatas pada hubungan pekerja dengan Perusahaan Swasta atau BUMN yang disebut hubungan kerja.
Hubungan kemitraan ini berarti mitra pengemudi memiliki keleluasaan dalam menentukan jam kerja, menerima atau menolak pesanan, serta bekerja untuk lebih dari satu platform. Ini berbeda dengan hubungan kerja yang mensyaratkan adanya pekerjaan tetap, upah, dan perintah dari pemberi kerja, yang mempekerjakan pekerja dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain.
Kemudian, muncul pertanyaan, apakah mitra platform digital ini memenuhi unsur ketenagakerjaan?
Regulasi yang menjadi dasar dalam menentukan apakah suatu hubungan antara perusahaan dan individu termasuk dalam kategori hubungan kerja formal atau bukan, yaitu Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan diperbarui dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Cipta Kerja (perubahan dari UU Cipta Kerja No. 11 Tahun 2020).
Secara spesifik, definisi hubungan kerja dan unsur-unsurnya dijelaskan dalam Pasal 1 ayat (15) UU Ketenagakerjaan, yang menyebutkan: “Hubungan kerja adalah hubungan antara pengusaha dengan pekerja/buruh berdasarkan perjanjian kerja, yang mempunyai unsur pekerjaan, perintah, dan upah.”
Kemudian, menilik dari dasar hukum ketenagakerjaan Indonesia di atas, sebuah hubungan kerja harus memenuhi tiga unsur utama, yaitu:
Pekerjaan: Mitra pengemudi memang melakukan pekerjaan berupa transportasi penumpang atau barang, tetapi ini dilakukan secara mandiri tanpa paksaan.
Perintah: Tidak ada perintah kerja dari perusahaan aplikasi, melainkan perintah kerja yang diberikan oleh konsumen dengan melakukan pemesanan melalui aplikasi. Mitra pengemudi memiliki kebebasan penuh dalam menentukan kapan dan bagaimana mereka bekerja.
Upah: Tidak ada upah tetap dari perusahaan aplikasi, melainkan mitra pengemudi membayarkan sejumlah uang kepada perusahaan aplikasi sebagai biaya sewa aplikasi dan mendapatkan bagi hasil dari tarif yang dibayarkan oleh konsumen berdasarkan perjanjian bagi hasil.
Sistem ini lebih menyerupai mekanisme bisnis yang tunduk pada Hukum Perdata pada umumnya dibandingkan dengan hubungan kerja antara pemberi kerja dan pekerja, yang tunduk pada Hukum Ketenagakerjaan (Perburuhan) yang memiliki ciri khas yaitu adanya upah, pekerjaan dan perintah.
“Karena unsur-unsur ketenagakerjaan ini tidak terpenuhi (pekerjaan, perintah, dan upah), maka mitra pengemudi secara yuridis bukan merupakan pekerja yang berhak atas tunjangan dan perlindungan seperti Tunjangan Hari Raya yang dimiliki pekerja tetap sebagai hak sebagaimana diatur oleh Kementerian Ketenagakerjaan,” jelas Prof. Uwiyono (25/02/2025).
Tunjangan Hari Raya (THR) sendiri diatur dalam Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 6 Tahun 2016, yang mensyaratkan bahwa THR diberikan kepada pekerja yang memiliki hubungan kerja formal dengan perusahaan. Jika kebijakan ini dipaksakan pada hubungan antara mitra pengemudi dengan perusahaan aplikasi, maka dapat memunculkan permasalahan hukum, karena mitra pengemudi tersebut bukanlah pekerja tetap, sehingga penetapan THR bagi mitra pengemudi ini bertentangan dengan hukum yang berlaku.
Sejalan dengan pendapat Prof. Uwiyono, pendapat serupa juga diutarakan oleh ekonom Universitas Paramadina, Wijayanto Samirin saat wawancara langsung 18/02/2025, yang mengatakan bahwa, “Tuntutan Tunjangan Hari Raya (THR) bagi pengemudi ojek online (ojol) tentu memiliki solusi jika semua pihak—pengemudi, aplikator, pemerintah, dan penumpang—bersedia duduk bersama untuk berdiskusi.
Pemerintah dapat berperan sebagai fasilitator dalam mencari jalan tengah yang adil bagi semua pihak. Salah satu faktor utama yang memungkinkan industri transportasi online berkembang begitu pesat adalah fleksibilitasnya.
Jika sektor ini dipaksa menerapkan model bisnis konvensional, maka ada risiko besar pertumbuhan industri akan terhambat, bahkan berpotensi mengalami kemunduran.
Oleh karena itu, solusi yang diambil harus bersifat win-win, tanpa menghambat keberlanjutan sektor ini. Sebab, jika industri ini terganggu, yang paling terkena dampaknya adalah para mitra aplikator itu sendiri serta masyarakat luas yang mengandalkan layanan ini untuk mobilitas sehari-hari.”
Wijayanto juga menyoroti bahwa regulasi sering kali tertinggal dalam merespons inovasi model bisnis baru seperti ekonomi gig—bukan hanya di Indonesia, tetapi juga di banyak negara lain.
Oleh karena itu, regulasi yang dibuat harus bersifat responsif dan antisipatif, bukan sekadar reaktif terhadap protes atau tuntutan yang muncul.
Lebih lanjut, kondisi pasar platform online masih dinamis dan terus berkembang. Oleh karena itu, kebijakan terkait sektor ini harus ditangani dengan hati-hati agar semua pihak dapat merasakan manfaatnya.
Indonesia juga dapat belajar dari pengalaman negara lain dalam mengatur industri serupa, meskipun ada aspek-aspek unik, seperti tuntutan THR, yang menjadi tantangan tersendiri.
Mantan Menteri Ketenagakerjaan (Menaker 2014-2019), yang saat ini juga menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia dari Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa periode 2024-2029, Muhammad Hanif Dhakiri, juga turut menanggapi usulan pemberian tunjangan hari raya (THR) bagi driver ojek online (ojol). Ia menekankan pentingnya solusi jangka panjang yang tidak membahayakan dunia usaha dan investasi.
“Kebijakan populis yang diambil tanpa kepastian hukum dapat berdampak negatif terhadap iklim investasi, terutama di sektor digital dan ekonomi gig,” dikutip 18/02/2025.
Hanif menegaskan bahwa driver ojol berstatus sebagai mitra, bukan pekerja formal, sehingga THR bukanlah hak yang wajib diberikan oleh aplikator.
Meski demikian, ia mengakui bahwa ketergantungan pengemudi pada platform membuat hubungan kemitraan ini semakin kompleks, karena tanpa aplikator tentunya para mitra akan kesulitan untuk mendapatkan penghasilan.
Ia mengingatkan bahwa memaksa perusahaan platform memberikan THR tanpa dasar regulasi yang jelas dapat menjadi preseden buruk.
Sebagai solusi, ia menyarankan agar regulasi yang diperkuat berfokus pada perlindungan sosial bagi pekerja gig, misalnya melalui jaminan sosial berbasis kontribusi.
Jalan Menuju Solusi
Tak dapat dipungkiri, saat musim liburan tiba, kesejahteraan pekerja menjadi perhatian utama. Selain memberikan pembayaran sekali dalam bentuk THR, ada solusi yang lebih efektif dan berkelanjutan adalah Bantuan Hari Raya.
Pendekatan ini memastikan bahwa para mitra mendapatkan dukungan nyata yang lebih sesuai dengan kebutuhan mereka, terutama dalam menghadapi beban finansial selama periode Lebaran.
Beberapa program yang telah diterapkan oleh para aplikator antara lain:
- Mudik Gratis: Mengurangi biaya perjalanan pulang kampung bagi mitra pengemudi.
- Paket Sembako: Memberikan dukungan bahan pokok yang membantu meringankan beban pengeluaran saat Lebaran.
- Skema Insentif dan Bonus: Memberikan peluang tambahan bagi mitra untuk meningkatkan pendapatan mereka, terutama selama peak season.
Sejauh ini, setiap platform ride-hailing memiliki pendekatan unik dalam mendukung mitra pengemudi mereka. Grab menawarkan berbagai keuntungan melalui GrabBenefits, termasuk diskon servis kendaraan, asuransi kesehatan dan kecelakaan, akses kredit, serta dana santunan bagi keluarga mitra dalam situasi darurat.
Selain itu, Grab menyediakan program GrabScholar untuk beasiswa anak mitra, skema insentif berbasis performa, voucher sembako murah, serta pelatihan dan pengembangan keterampilan untuk membuka peluang usaha.
Gojek, di sisi lain, menitikberatkan pada perlindungan mitra dengan asuransi kecelakaan, posko aman, serta program loyalitas berbasis insentif.
Mereka juga menawarkan bantuan finansial seperti sembako murah dan akses kredit, serta fasilitas tambahan seperti diskon merchant dan layanan GoPay.
Sementara itu, Lalamove mengutamakan bonus misi dan insentif bagi pengemudi berperforma tinggi, serta akses informasi pesanan untuk memaksimalkan penghasilan. Mereka juga bekerja sama dengan BPJAMSOSTEK untuk perlindungan sosial dan memiliki program referral yang memberikan insentif bagi mitra yang mengajak rekan bergabung.
Dialog yang terbuka tentang solusi menjadi hal yang tak terelakkan agar tidak ada pihak yang merasa dirugikan, terlebih pada momen penting seperti Hari Raya Lebaran.
Menurut Prof Dr. Aloysius Uwiyono, dinamika pasar sebaiknya dibiarkan berkembang secara alami agar menciptakan ekosistem kemitraan yang kompetitif dan berkelanjutan. Hal ini menjadi faktor utama dalam menarik minat pelaku usaha serta investor dalam jangka panjang.
“Dalam konteks ini, peran pemerintah idealnya berfokus pada pengawasan untuk memastikan keseimbangan dan kepastian hukum tanpa melakukan intervensi langsung dalam hubungan privat kemitraan,” ujarnya memberikan saran.
“Dalam mencari solusi terbaik, perlu dipahami bahwa ada variasi besar dalam status para mitra online ini. Sebagian menganggapnya sebagai pekerjaan utama, sementara yang lain menjadikannya sebagai pekerjaan sampingan.”
“Artinya, solusi yang diterapkan harus mempertimbangkan keberagaman kebutuhan ini. Saat ini, mayoritas pengemudi menghargai fleksibilitas yang mereka miliki. Jika mereka diperlakukan seperti pekerja konvensional, ada kemungkinan mereka kehilangan fleksibilitas tersebut—yang justru menjadi daya tarik utama pekerjaan ini.”
“Yang terpenting adalah mencari solusi bersama yang berkelanjutan, sehingga kesejahteraan pengemudi tetap terjamin tanpa mengorbankan pertumbuhan industri secara keseluruhan,” imbuh Wijayanto Samirin menyarankan.
Dalam kondisi ekonomi yang tidak menentu, Hanif mengingatkan bahwa beban finansial tambahan bagi perusahaan dapat berdampak negatif, seperti kenaikan tarif, pemotongan insentif, atau pengurangan jumlah mitra pengemudi. “Pemerintah untuk berhati-hati dalam menetapkan regulasi terkait THR agar tetap menjaga keseimbangan antara fleksibilitas kerja dan perlindungan bagi para pekerja,” saran Muhammad Hanif Dhakiri.
Dari berbagai saran para ahli tersebut, Bantuan Hari Raya yang disesuaikan dengan kemampuan tiap aplikator adalah solusi yang lebih efektif dibandingkan mewajibkan THR tunai seperti tuntutan pemerintah dalam mendukung pekerja gig.
Dengan memberikan manfaat yang berkelanjutan seperti insentif, perlindungan sosial, dana santunan, beasiswa untuk anak Mitra, dan bantuan operasional, pekerja gig dapat menikmati manfaat yang lebih baik dalam jangka panjang tanpa mengorbankan fleksibilitas dan peluang kerja mereka.
Sebagai industri yang terus berkembang, pendekatan ini memastikan bahwa ekosistem ekonomi gig tetap sehat dan inklusif bagi semua pihak.