BEYOND BOROBUDUR — Poros Magelang ke Malang

BEYOND BOROBUDUR — Poros Magelang ke Malang

Parador Hotels and Resorts bekerjasama dengan unit Atria Hotel Magelang dan Malang mengadakan acara trip media “The Beauty of Magelang and Malang.”

Tujuan perjalanan ini: memperkenalkan kekayaan alam dan potensi wisata yang ada di Magelang, Jawa Tengah, dan Malang, Jawa Timur. Ada selusin media nasional ikut dalam perjalanan lima hari ini.

Di hari pertama kedatangan, awak media langsung diajak menikmati keindahan alam Magelang dengan fun jeep tour di wilayah Ketep Pas Magelang, dan dapat menikmati indahnya pemandangan Magelang yang dikelilingi oleh beberapa gunung, di antaranya adalah Merapi, Merbabu, Sindoro, Sumbing, dan perbukitan Menoreh.

Selain melewati pemandangan yang indah, jalur yang ditempuh cukup menantang dan memacu adrenalin karena menyusuri sungai dan air terjun.

Setelah puas menikmati fun jeep tour, para peserta disambut oleh General Manager Atria Hotel Magelang, Chandra Irawan, dalam acara Dinner at Angkringan Atria yang digelar di areal terbuka di muka hotel dan menjadi salah satu ikon Atria Hotel Magelang.

Salah satu menu populer Angkringan Atria adalah “Bakmi Jawa Mbok Mur.”

Para peserta juga disuguhkan makanan tradisional khas Jawa Tengah sambil menikmati live music.

Pada kesempatan itu GM Chandra Irawan juga memperkenalkan segenap personalia kunci Atria Hotel Magelang sekaligus membahas potensi wisata yang ada di kota maupun kabupaten Magelang.

Di hari kedua, para peserta diperkenalkan dengan keindahan Magelang di pagi hari, yaitu menikmati sunrise di Silancur Highland.

Destinasi ini menjadi salah satu destinasi utama wisatawan dari luar daerah Magelang. Selanjutnya, awak media menikmati sarapan di Mangli Sky View dan diberikan kesempatan untuk menikmati kehidupan desa, salah satunya dengan bertani dan panen sayur.

Menjelang siang, para peserta diajak untuk menjelajah area Borobudur, dan diberikan kesempatan untuk belajar tari tradisional, dan menikmati hidangan ndeso di Omah Mbudur.

Kemudian dilanjutkan dengan VW Tour dengan mengunjungi UMKM di sekitar Borobudur dan pegunungan Menoreh.

Hal ini menjadi kesempatan emas untuk memperkenalkan bahwa ada banyak potensi wisata di daerah Magelang, selain candi Borobudur.

Petualangan tersebut ditutup dengan dinner di Bateeq Lounge. Menu utama yang disajikan adalah “Gurame Goreng ala Nenek” yang merupakan special menu dari Chef Atria Hotel Magelang.

Sambil menikmati makan malam, peserta disuguhkan live music gamelan sekaligus diberikan kesempatan untuk belajar gamelan.

Chandra Irawan, General Manager Atria Magelang.

GM Chandra Irawan berkata, acara ini kesempatan sangat baik memperkenalkan kota dan kabupaten Magelang.

“Selama ini Magelang identik Candi Borobudur saja. Sebenarnya, Magelang kini semakin populer sebagai destinasi wisata yang menarik yang dapat dinikmati oleh para wisatawan” ujarnya.

“Dengan banyaknya potensi wisata tersebut, Magelang atau Borobudur terpilih sebagai lima Destinasi Super Prioritas, yaitu program dari Kemenparekraf untuk mengembangkan daerah yang berpotensi menjadi ‘Bali Baru’.

Dengan segala keindahan dan keunikan yang dimilikinya, Magelang siap menyambut para wisatawan domestik serta asing. Atria Hotel Magelang siap mengakomodasi kebutuhan wisatawan yang datang ke Magelang”, pungkas Chandra.

Filosofi Leluhur di Omah Mbudur

Kurang lengkap rasanya kalau menyambangi kawasan wisata Borobudur tapi tak mampir ke Omah Mbudur yang jaraknya hanya hitungan menit saja dari Candi Borobudur yang adalah salah satu dari tujuh keajaiban dunia itu.

Grup Media Trip Atria langsung singgah ke Omah Mbudur, Magelang, Jawa Tengah.

Diterima keramah tamahan khas Omah Mbudur diiringi dengan welcome drink segar kami langsung disambut oleh senyum sumringah Nuryanto, Owner Omah Mbudur, dengan busana khas Jawa dan udeng sebagai mahkotanya.

Pria yang santun dan ramah ini pun menyampaikan ihwal Omah Mbudur sebagai trip kesekian kalinya dari grup juru tulis yang berfokus pada Pariwisata dan Ekonomi Kreatif.

 

Pak Nur — begitu sapaan akrabnya — menjelaskan, dalam babad Borobudur kawasan ini disebut Vanua Wana Mandra yang bermakna ‘Istana Kecil di Tengah Hutan Bambu’. Lokasi ini menjadi tempat singgah para Jlogro atau pemahat.

“Saya ini termasuk pemahat, bapak juga, eyang juga. Dan, ini karya-karya saya. Sekaligus bukti bahwa di tempat ini dulunya petilasan para pemahat, ada prasastinya. Ditemukan di lubang-lubang itu,” seraya menunjuk ke belakang dan ke bawah dirinya berdiri.

Salah satu prasasti yang ada di Omah Mbudur adalah arca dua penari yang usianya sama dengan Candi Borobudur, abad ke 7 atau 8. “Saya pun sudah ijin dari balai konservasi untuk memperlihatkan benda ini ke tamu, sebagai bukti sejarah,” ungkap Pak Nur.

Kawasan ini, lanjutnya, adalah hutan bambu. Menjadi tembang tepung gelang Candi Borobudur. Bahkan sampai saat ini Desa-nya masih ada namanya Brojonalan.

Kira-kira tembangnya seperti ini; ‘Brojonolo sun tingali, anak mbarep ing Mbekangan, ojo owah ing arane,’. Ngaran gunung Pademangan, itu pusat pemerintahan yang sekarang jadi Borobudur.

Gendingan wis keno. Jadi hidup harus selaras. Bokowanti kaliabon. Abon itu sari-sari yang digongso sampai jadi abon, Rojo kelon ing njligutan…’ Ini Namanya tepung gelang yang selalu dikisahkan dengan budaya tutur.

Jadi leluhur itu menuturkan tentang kisah-kisah Borobudur melalui tiga budaya yakni, Sandang, apa yang kita pakai, pakai batik ceplok ada yang batik kawung, itu gak bisa diplintir. Dipilih sandang supaya tidak diplintir dan pesan itu sampai.

Yang kedua Pangan, dan Papan. Papan ini seperti candi, rumah, joglo, limasan, artefak ada stupa, gambar relief, terpahat gajah katakana gajah.

“Terakhir yakni Nada, seperti gending, saat bunyi gong, katakana gong. Karena kata-kata bisa diplintir. Ini yang membuat leluhur kami memakai budaya tutur bentuk,” urainya.

Sekarang ini tiga konsep tersebut sudah berubah, contoh, dalam kepemimpinannya budaya tutur, ing ngarso sun tulodo, ing madyo mangunkarso, tut wuri handayani.

Selain tiga filosofi budaya tersebut, leluhur pun mengajarkan bagaimana melayani dan menerima tamu dalam tiga filosofi yakni; Gupuh, tergopoh-gopoh menyambut tamu dan memberi sesuatu, selanjutnya Suguh, apa yang dimiliki disuguhkan dan terakhir Lungguh, ada narasi ketika duduk dan ngobrol.

“Jadi, dalam menyambut tamu itu tidak boleh dibiarkan, buka pintu sendiri, duduk sendiri dan ambil minum sendiri,” pungkas Pak Nur.

BACA JUGA: majalah MATRA edisi Mei 2023, Klik ini

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.