EKSEKUTIF.com — Meninjau Implementasi UU RI No. 8 Tahun 1976 dalam Kebijakan Narkotika di Indonesia
Undang-Undang Republik Indonesia No. 8 Tahun 1976 mengesahkan Konvensi Tunggal Narkotika 1961 beserta protokol yang merubahnya.
Dalam Pasal 35, undang-undang ini mengamanatkan kepada pemerintah untuk membentuk badan atau instansi yang bertanggung jawab dalam mengkoordinasikan langkah preventif dan represif melawan peredaran gelap narkotika.
Langkah preventif dalam kebijakan narkotika mencakup dua aspek utama. Pertama, pencegahan primer yang bertujuan agar masyarakat tidak menggunakan narkotika tanpa petunjuk dokter.
Kedua, pencegahan sekunder melalui penegakan hukum rehabilitatif, di mana hakim diwajibkan untuk menjatuhkan sanksi rehabilitasi bagi penyalah guna narkotika.
Sementara itu, langkah represif mencakup penegakan hukum secara khusus, baik dalam bentuk sanksi pemenjaraan maupun perampasan aset hasil kejahatan narkotika dengan pembuktian terbalik di pengadilan.
Sejak saat itu, Indonesia memasuki rezim yang secara pidana melarang penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika dengan hukuman yang berada di luar ketentuan KUHP.
Hal ini kemudian diperkuat dengan lahirnya UU No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika yang mengatur kepemilikan obat jenis narkotika dan ancaman pidana bagi pelanggarnya.
Sayangnya, dalam implementasinya, UU No. 35 Tahun 2009 tidak diiringi dengan pembentukan badan atau instansi yang bertugas mengoordinasikan langkah preventif dan represif sebagaimana telah diamanatkan oleh UU No. 8 Tahun 1976.
Ketidakhadiran badan khusus ini berdampak besar dalam implementasi kebijakan narkotika di Indonesia.
Dalam praktiknya, tidak ada mekanisme koordinasi yang efektif antara pencegahan primer dan sekunder untuk melindungi penyalah guna, serta langkah represif terhadap pengedar yang seharusnya mencakup perampasan aset hasil kejahatan.
Akibatnya, penyalah guna tetap dijatuhi hukuman penjara, sementara pengedar dijatuhi hukuman mati tanpa adanya upaya signifikan dalam menyita hasil kejahatan mereka.
Secara yuridis, kondisi ini menempatkan pemerintah dalam posisi yang sulit.
Tanpa koordinasi yang jelas dalam kebijakan narkotika, penyalah guna hanya dapat diselamatkan dari pemenjaraan melalui upaya hukum luar biasa seperti grasi atau amnesti.
Begitu pula dengan pengedar narkotika yang dijatuhi hukuman mati, tanpa adanya mekanisme optimal untuk menyita aset hasil kejahatan mereka.
Ke depan, pemerintah perlu meninjau kembali implementasi kebijakan narkotika dengan membentuk badan koordinasi yang sesuai dengan amanat UU No. 8 Tahun 1976.
Langkah ini tidak hanya akan meningkatkan efektivitas dalam pemberantasan peredaran gelap narkotika, tetapi juga memastikan bahwa kebijakan yang diterapkan tetap berimbang antara aspek pencegahan dan penegakan hukum.
Dengan demikian, penanganan narkotika di Indonesia dapat lebih sistematis, adil, dan efektif dalam jangka panjang.
- BACA JUGA: Rehabilitasi itu Murah Bila Pemerintah Melakukan Rehabilitasi Secara Non Pidana – Harian Kami
Dr Anang Iskandar SH, MH adalah Komisaris Jenderal purnawirawan Polisi. Merupakan Doktor, yang dikenal sebagai bapaknya rehabilitasi narkoba di Indonesia.
Mantan Kepala Badan Narkotika Nasional (BNN) dan Bareskrim Polri, yang kini menjadi dosen, aktivis anti narkoba dan penulis buku.
Lulusan Akademi Kepolisian yang berpengalaman dalam bidang reserse.