Keterbukaan terhadap berbagai peluang yang ada, fleksibilitas tempat kerja, dan akses kepada peluang merupakan tiga tindakan paling mendesak yang perlu dilakukan perusahaan untuk memberdayakan tempat kerja yang lebih inklusif gender. Demikian hasil studi perdana “Women in the Workplace: Asia” yang dilakukan Agoda, perusahaan tech travel yang berkantor pusat di Asia. Kriteria-kriteria di atas bahkan lebih tinggi rankingnya dibandingkan kesetaraan upah dan dukungan orang tua, menurut studi yang melibatkan 12.000 responden di 10 negara Asia.
Data menunjukkan perbedaan pendapat yang lebih besar berdasarkan usia ketimbang berdasarkan gender. Meskipun keterbukaan terhadap peluang yang ada menduduki peringkat pertama secara keseluruhan, analisis menurut kelompok usia menunjukkan kesenjangan antara kelompok usia 18-24 tahun, di mana hanya 38% yang menyebutkannya, dibandingkan 49% dari mereka yang berusia di atas 55 tahun. Sementara berdasarkan gender, prioritasnya bervariasi. Responden yang mengaku non-biner cenderung fokus pada inklusi sosial, inklusi profesional, dan representasi seimbang dalam kepemimpinan senior sebagai prioritas utama untuk pemberdayaan.
Eliana Carmel, Chief People Officer Agoda mengatakan, temuan ini memberi informasi penting bagi perusahaan yang ingin mempertahankan talenta berkualitas di Asia. “Menciptakan budaya di mana orang merasa dihormati secara sosial dan profesional adalah hal yang sangat penting. Keadilan dalam peluang – baik kemampuan untuk melihat peluang yang ada dan memiliki akses ke fasilitas, atau pelatihan untuk menjangkau peluang tersebut, sangat jelas terlihat dari studi ini. Bagi organisasi yang ingin merekrut talenta terbaik, maka jalur karier yang jelas, tujuan, dan kejelasan tentang seperti apa kesuksesan tampak semakin penting.”
Tiga hal paling mendesak yang diperlukan untuk memberdayakan inklusivitas gender
Ketidaksetaraan gender (glass ceiling) masih terjadi, dan seperempat responden mengaku ‘berhenti kerja’ karena diskriminasi gender.
Hampir separuh dari responden yang disurvei (46%) percaya bahwa masih ada ketidaksetaraan gender yang dialami perempuan di negara mereka. Responden dari Vietnam (63%), Thailand (56%), dan Taiwan (53%) cenderung setuju, sementara responden Filipina kurang sependapat (27%) dengan hal tersebut.
Setelah dianalisis lebih lanjut, survei ini menunjukkan bahwa proporsi lebih kecil dari responden pria dan non-biner (41%) meyakini bahwa ketidaksetaraan gender masih ada, dibandingkan responden perempuan (52%). Ada juga perbedaan pandangan antara kelompok usia, dengan proporsi yang lebih tinggi pada kelompok usia 18-24 tahun (53%) meyakini bahwa ketidaksetaraan gender masih ada, dibandingkan hanya 42% responden yang berusia di atas 45 tahun.
Kelompok usia 18-24 tahun juga cenderung untuk berhenti kerja atau mengenal seseorang yang berhenti kerja karena diskriminasi gender, dengan 35% dari kelompok usia ini mengatakan bahwa mereka resign atau mengenal seseorang yang melakukannya, dibandingkan 12% dari kelompok usia 55 tahun ke atas.
Perubahan sedang terjadi dengan negara-negara berkembang lebih optimistis akan terjadinya perbaikan
Hampir tujuh dari 10 responden meyakini bahwa lingkungan tempat kerja untuk perempuan telah mengalami perubahan yang lebih baik dalam lima tahun terakhir (secara marjinal 41%, secara signifikan 28%), dengan hanya 8% yang percaya bahwa kondisinya memburuk. Berdasarkan gender, tampak bahwa 32% laki-laki melihat peningkatan yang signifikan, kontras dengan responden perempuan 25% dan 24% responden non-biner. Sebanyak 42% perempuan merasakan peningkatan marjinal, dibandingkan responden laki-laki 9% dan 37% responden non-biner.
Perubahan dalam lingkungan kerja bagi perempuan selama 5 tahun terakhir
Menurut data, Jepang dan Korea Selatan merupakan negara yang kurang melihat perbaikan di lingkungan tempat kerja bagi perempuan, dengan masing-masing 57% dan 40% responden yang menganggap tidak ada perubahan atau lingkungan kerja memburuk. Sebaliknya, perbaikan signifikan selama lima tahun terakhir terlihat di Filipina (44%), India (36%), Indonesia (36%), Vietnam (35%), dan Thailand (28%).
“Peningkatan di lingkungan tempat kerja yang menguntungkan perempuan sebenarnya juga menguntungkan organisasi secara keseluruhan. Meskipun mungkin masih ada hambatan karier, namun hal ini tidak sepenuhnya kabar buruk. Ada sentimen bahwa kondisi sedang membaik di seluruh wilayah ini, terutama di negara berkembang,” ujar Eliana, baru-baru ini.
“Studi ini menunjukkan bahwa usia 18-24 tahun cenderung tidak menerima diskriminasi gender, baik yang nyata maupun yang dirasakan. Organisasi yang akan berhasil harus menciptakan budaya dan lingkungan yang tidak hanya mempromosikan kesetaraan gender, namun juga secara aktif mencontohkannya setiap hari, “ tambah Eliana.
“Baik itu dengan memastikan bahwa setiap orang memiliki kejelasan mengenai peran dan peluang mereka, atau dengan mendorong budaya berbicara di mana suara setiap orang dihargai, atau hanya sekadar menyamakan peluang dengan menawarkan praktik kerja yang fleksibel untuk memastikan tidak ada kelompok yang dirugikan,” tegasnya.
Manfaat dari Representasi yang Seimbang
Dengan dua pertiga (66%) responden di seluruh negara menyatakan pentingnya representasi gender yang seimbang bagi mereka, terutama di kalangan usia 18-24 tahun (71%), maka membangun keragaman gender dalam tim kepemimpinan menjadi semakin penting bagi organisasi. Menurut temuan survei Agoda, manfaat utama dari representasi yang seimbang adalah menciptakan lingkungan kerja yang inklusif (70%), membantu memikat dan mempertahankan talenta (63%), serta meningkatkan hasil bisnis (45%).
Eliana menambahkan, “Studi Agoda ‘Women in the Workplace: Asia’” memberi wawasan tentang perubahan pandangan generasi terhadap inklusivitas di tempat kerja. Memahami dan merangkul perbedaan generasi di tempat kerja bukan hanya keuntungan strategis; namun juga merupakan kunci untuk membuka inovasi, mendorong kolaborasi, dan membangun lingkungan kerja yang menghargai perspektif yang beragam.
Studi ini menekankan peran penting dalam membangun tim kepemimpinan yang beragam, terutama dalam representasi gender, dalam memfasilitasi lingkungan inklusif, menarik talenta, dan mendorong kesuksesan bisnis. Studi ini berfungsi sebagai sumber daya penting untuk memahami dan memajukan inklusivitas tempat kerja di lanskap Asia yang dinamis.”