EKSEKUTIF.com-Pertempuran bisnis air minum dalam kemasan (AMDK) melalui iklan dan promosi di sejumlah media televisi, mendos dan media lainnya, belakangan terlihat memanas, bahkan tak sungjkan saling memojokkan. Fenomena ini rupanya juga menarik perhatian pakar bisnis dan marketing untuk ikut menganalisis. Berikut ulasannya.
Hari-hari belakangan ini media periklanan, baik elektronik, luar ruang, cetak hingga medsos, banyak disuguhi informasi dan berita komersial atau iklan produk air minum dalam kemasan (AMDK) yang terkesan saling klaim akan keunggulan produknya dan tak segan dengan memojokkan brand lawan.
Pakar dan pemerhati bisnis pun ikut turun tangan untuk meberikan analisisnya. Terbaru, konsultan manajemen dan inovasi kenamaan Dr. Indrawan Nugroho yang dilansir melalui Youtubenya. Ia panjang lebar ikut mengulas persaingan bisnis di industri yang bernilai triliunan rupiah tersebut dengan perspektif yang cukup menarik.
Ia menyebut pertarungan ini bak perjuangan David versus Goliath, merujuk pada kisah legendaris di masa lampau yang menggambarkan pihak kecil, lemah dan tak diperhitungkan justru mampu mengalahkan musuhnya yang jauh lebih besar, kuat dan berpengalaman.
Tak dapat dipungkiri, kisah tersebut belakangan menimbulkan David vs Goliath moment di berbagai bidang, termasuk dalam percaturan dunia bisnis. Ketika brand (merek) baru hadir di pasar dan sukses merebut pangsa pasar pesaing lama, ini pun disebut momen David vs Goliath.
Indrawan, founder dan CEO Corporate Innovation Asia (CIAS) dalam kanal Youtube-nya yang telah memiliki ratusan ribu subscriber menilai, sepak terjang brand para pendatang baru AMDK seperti Cleo, Club dan Le Minerale, telah menggoyang kedigjayaan kemapanan Aqua selaku pemimpin pasar.
“Apa yang membuat kisah ini semakin menarik adalah karena adanya gerakan masif dan strategis dari para pemain kecil di industri ini yang berupaya untuk menggoyang kedigdayaan Sang Penguasa pasar. Ini adalah kisah, David versus Goliath,” jelas Indrawan dalam video Youtube yang bertajuk Ketika Si Kecil Melawan Raksasa AMDK. Siapa Tumbang? Yang diunggah pada 13 Juli 2023 di kanal Dr. Indrawan Nugroho. Video lengkapnya bisa disimak di tautan berikut ini, https://www.youtube.com/watch?v=q8wU0Ecl37Y&ab_channel=Dr.IndrawanNugroho.
Nilai Pasarnya Mencapai Rp 152 triliun
Pasar AMDK di Indonesia sendiri sangat masif. Data dari Statista menerangkan, nilai pasar AMDK Indonesia di tahun 2022 mencapai US$ 10,24 miliar atau Rp 152 triliun di 2022 alias kelima terbesar di dunia. Statista juga meramal angka ini masih terus bertumbuh 26,5% dalam lima tahun ke depan menjadi US$12,95 miliar.
Indrawan menyebut terdapat 900 perusahaan AMDK di Indonesia dengan 2000 merek yang menggarap pasar. Berbagai merek AMDK pun menggunakan jurus masing-masing untuk merebut hati dan dompet masyarakat Indonesia. Seperti Le Minerale yang disebut Indrawan menggunakan strategi pemasaran edukatif yang menekankan benefit air mineralnya yang mengandung unsur mineral baik. Sementara Cleo mengibarkan pesan bahwa airnya mengandung oksigen murni yang seimbang sehingga menyegarkan.
Jurus diferensiasi produk pun dilancarkan masing-masing merek.
Seperti Le Minerale dan Cleo yang mengusung kemasan gallon PET yang bebas Bisphenol A (BPA), zat karsinogenik yang berbahaya jika masuk ke dalam tubuh manusia. Diferensiasi ini rupanya membuat pusing pemimpin pasar, Aqua yang galonnya berbahan polikarbonat dan mengandung BPA.
Getol Komunikasi Kejar Branding
Dihubungi terpisah melalui sambungan telepon, dosen Periklanan Universitas Muhamadiyah Jakarta, Agus Hermanto menjelaskan, merek-merek AMDK baru seperti Le Minerale rupanya sangat aktif berkomunikasi alias branding. Tak hanya ke pengguna, tapi Le Minerale aktif menggenjot brandingnya hingga ke berbagai level saluran distribusi.
Agus memaparkan, dalam strategi branding selain visi, dan misi, perlu juga eksistensi berkomunikasi ke pasar. Sebagai produsen, promosinya pun tak hanya ke masyarakat, tapi juga pasar jaringan distribusi yakni pedagang kecil, besar, wholesaler. Aqua dinilai kurang aktif menggarap jaringan distribusi.
“Karena dia merasa sudah raja, malah jadi kecolongan. Nah kelemahan itu yang dimanfaatkan oleh Le Minerale dengan memberikan insentif yang lebih menarik ke jaringan distribusinya, sehingga mereka lebih tertarik memasarkan Le Minerale,“ jelas Agus.
Melihat kelemahan pesaingnya, Le Minerale pun aktif berkomunikasi dengan memberikan manfaat lebih ke para distributornya hingga ke level terbawah, para pedagang kaki lima yang menjual langsung air minum ke konsumen. Salah satu contohnya seperti yang dilakukan di Kota Bogor oleh Mayora, induk Le Minerale yang aktif menggelar program corporate social responsibility (CSR) dengan membangun fasilitas foodcourt untuk UMKM secara cuma-cuma di berbagai lokasi dengan bekerja sama dengan Pemerintah Kota Bogor. Setelah selesai dibangun, foodcourt itu lantas diserahkan secara gratis dan dikelola oleh koperasi pedagang foodcourt tersebut, tanpa ada biaya pembangunan sama sekali yang dipungut kepada pedagang foodcourt.
Sehingga kawasan UMKM pedagang kaki lima yang tadinya terlihat kurang layak menjadi sangat indah dan nyaman seperti terlihat di Foodcourt Sempur dan di Foodcourt Bogor Creative Center, keduanya di Kota Bogor. Agus menerangkan, CSR membangun foodcourt yang dilakukan Mayora atau Le Minerale sebenarnya strategi lazim dalam marketing public relation, yakni trade promotion.
“Dengan program CSR, Mayora atau Le Minerale membangun foodcourt gratis untuk pedagang kaki lima. Sebagai apresiasi timbal balik telah dibuatkan foodcoourt yang nyaman secara gratis, pedagang mengutamakan menjual produk Mayora atau Le Minerale di sana. Itu lazim dan etis, kok. Kalau pesaingnya seperti Aqua mau meniru CSR-nya, ya silakan saja,” tegas Agus.
Dengan demikian Aqua telah terbuai dengan kesuksesannya sendiri sehingga menjadi lengah menggarap saluran distribusi sampai ke kaki lima. “Kalau dianalisis dari marketing mix tradisional memakai konsep 4P, product, price, place, promotion, Aqua sudah menguasai 3 yang pertama. Yang masalah, yang keempat, promotionnya kalau kita amati sepertinya Aqua agak berkurang beberapa waktu lalu. Tidak hanya ke konsumen, tapi juga ke jaringan distributornya,” urai Agus.
Persaingan Tidak Sehat
Praktik seperti di atas patut disayangkan karena cara persaingan bisnis tersebut cenerung tidak sehat bahkan bisa dibilang termasuk praktik persaingan jahat. Dalam videonya, Indrawan Nugroho juga mengulas taktik jahat yang dilakukan Aqua melalui distributornya di tahun 2016 yang melarang toko di sejumlah daerah menjual produk Le Minerale.
Untung saja taktik jahat Aqua berhasil dipatahkan dengan keluarnya keputusan oleh KPPU yang memvonis Aqua dan distributor besarnya bersalah dan memvonis denda PT Tirta Investama selaku produsen Aqua sebesar Rp 13,8 miliar dan distributornya Rp 6,2 miliar karena terbukti melakukan praktik monopoli usaha. Keputusan ini belakangan dikuatkan Mahkamah Agung.
“Kabul kasasi, batal putusan judex factie dan MA mengadili sendiri dengan menguatkan putusan KPPU,” kata juru bicara Mahkamah
Agung, Hakim Agung Andi Samsan Nganro seperti dikutip dari media 28 November 2019.Taktik jahat Aqua sepertinya bersumber dari kepanikan melihat pangsa pasarnya tergerus pesaing. Indrawan mengutip data dari Asosiasi Produsen Air Minum Kemasan Nasional (Asparminas) yang menyebutkan bahwa di awal 2023 penjualan AMDK kemasan galon bebas BPA meningkat dari 6% jadi 8% sedangkan pangsa pasar AMDK kemasan galon polycarbonat menyusut dari 94% menjadi 92%.
Selain itu, Indrawan menjelaskan, pada tahun 2006 Aqua sangat dominan di pasar AMDK nasional dengan pangsa 92,7%. Namun di 2013 pasarnya sudah turun ke angka 81,6%. Yang lebih parah di 2016 anjlok hingga 46,7%.
Selain pangsa pasar yang anjlok, kekuatan mereknya pun kian jeblok. Hal itu terlihat dari data Top Brand Index yang dipaparkan Indrawan. Top Brand Index yang diriset oleh firma riset Frontier Research dan hasilnya ditampilkan setiap tahun dalam Top Brand Award merupakan acuan performa merek dengan tiga parameter, mind share, market share dan commitment share.
Hasilnya, dipaparkan Indrawan dalam 9 tahun terakhir skor TBI Aqua merosot sampai 21 poin. “Pada tahun 2015 skor TBI Aqua masih 75,9 namun pada tahun 2023 skornya hanya mencapai 55,1 poin. Jadi, meskipun skornya masih dominan tetapi daya tarik Aqua mulai berkurang,” jelas Indrawan.
Sebaliknya, kesigapan dan kreativitas Le Minerale dalam strategi promosi dan distribusi berbuah positif. Pangsa pasarnya meningkat seperti disebut di atas. Selain itu, “Pada tahun 2019 skor (TBI) Le mineral hanya mencapai 5 poin, tapi 4 tahun kemudian atau di tahun 2023 skor mereka meningkat hampir 3 kali lipat dan mencapai 14,5 poin. Angka statistik ini menunjukkan Le Minerale telah berhasil memikat konsumennya,” tegas Indrawan memuji keberhasilan Le Minerale.
Pun demikian dengan hasil jajak pendapat di Jakpat pada 26 September 2022. Dalam hasil jajak pendapat tersebut terungkap hasil Aqua disukai oleh 74,9% responden dan berada di peringkat pertama. Lalu di peringkat kedua ada Le Minerale dengan persentase 62,1%.
Mengakhiri paparannya, Indrawan menyebutkan tiga pelajaran penting yang dapat dipetik dari persaingan AMDK ini. Pertama, terlihat bahwa adaptasi konsumen dalam mengonsumsi produk dapat mendorong pertumbuhan industri. Kedua menjaga kualitas dan inovasi dalam produk sangat penting dalam lingkungan bisnis yang kompetitif.
“Ketiga etika dan integritas bisnis itu penting. Dalam hal ini kita lihat bagaimana perselisihan antara Aqua dan Le Minerale di meja pengadilan tentang dugaan praktik monopoli menunjukkan betapa pentingnya menjalankan bisnis dengan cara-cara yang adil dan etis,” pungkas Indrawan.