BPIP Focus Group Discussion ‘Kerapuhan Etika Penyelenggaraan Negara’ di Makasar

foto: Esra BPIP


EKSEKUTIF.comDi tengah megahnya kampus Universitas Hasanuddin (UNHAS) di Makassar, sebuah pertemuan penting berlangsung pada pagi yang tenang, menyatukan pikiran-pikiran luhur dalam sebuah Focus Group Discussion (FGD) bertajuk “Kerapuhan Etika Penyelenggara Negara dalam Berbangsa dan Bernegara.”

Kolaborasi UNHAS dengan Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) Republik Indonesia menghadirkan diskusi yang menggali lebih dalam persoalan mendasar: bagaimana etika penyelenggara negara terkikis di tengah derasnya arus demokrasi modern dan budaya hukum yang mengeropos.

Pagi itu, diiringi lantunan sakral “Indonesia Raya” yang menggema ke penjuru ruang, para hadirin seolah diingatkan pada hakikat mereka sebagai anak bangsa—sebuah bangsa yang dibangun di atas fondasi luhur Pancasila.

Video singkat tentang BPIP yang diputar kemudian menyentuh kembali kesadaran kolektif, menegaskan peran vital lembaga ini dalam menjaga warisan etika dan moralitas yang semakin hari semakin dirongrong oleh kekuasaan.

Wakil Rektor Universitas Hasanuddin dalam sambutannya, dengan penuh keyakinan, berbicara tentang tanggung jawab moral institusi pendidikan.

Baginya, universitas adalah benteng terakhir yang menjaga kemurnian moralitas bangsa, terutama dalam konteks penyelenggaraan negara. “Hukum tanpa etika hanyalah tubuh tanpa jiwa,” ucapnya, seakan mengingatkan bahwa diskusi ini bukan sekadar wacana akademis, melainkan panggilan untuk meluruskan arah bangsa.

Seruan ini diamini oleh Dr. Tonny Agung Arifianto, S.E., M.A.B., Sekretaris Utama BPIP, yang menekankan urgensi diskusi tentang budaya hukum di tengah kerapuhan etika, dengan korupsi sebagai contoh nyata yang menggerogoti sendi-sendi pemerintahan.

Pada titik inilah, etika menjadi landasan yang tak boleh diabaikan, apalagi diabaikan oleh mereka yang dipercayakan untuk mengelola negara.

Acara yang dibuka pada pukul 09.00 WITA ini kemudian mencapai momen penting ketika plakat penghargaan diserahkan sebagai simbol kerja sama antara UNHAS dan BPIP, sebuah tanda ikatan moral yang diharapkan dapat menjadi teladan bagi banyak pihak.

Sesi 1: Budaya Hukum yang Rapuh

Pukul 09.30 WITA, sesi pertama dimulai dengan gemilang, dipandu oleh Prof. Dr. Muhammad Amin Abdullah, seorang anggota Dewan Pengarah BPIP yang telah lama mengarungi samudera pemikiran etika dan hukum.

Narasumber utama, Prof. Dr. Topane Gayus Lumbuun, S.H., M.H., dari Universitas Krisnadwipayana, dengan tajam mengupas akar dari kerapuhan budaya hukum di Indonesia.

Ia mengingatkan bahwa praktik-praktik tidak etis dalam pemerintahan adalah racun yang perlahan tapi pasti meruntuhkan fondasi hukum bangsa.

Di sisi lain, Prof. Drs. Koentjoro, MBSc., Ph.D., dari Universitas Gadjah Mada, memberikan perspektif mendalam tentang pentingnya pendidikan etika sejak dini.

Baginya, nilai-nilai etika adalah fondasi yang harus ditanam sejak akar, karena hanya dengan begitu, pohon hukum akan tumbuh kuat dan berbuah keadilan.

Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi, Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H., dengan wibawanya, mengingatkan bahwa lembaga-lembaga hukum adalah benteng terakhir dari moral bangsa.

Di samping itu, narasumber lain seperti Dr. Harjono dan Prof. Andi Pangeran Moenta dari Universitas Hasanuddin menyoroti kebutuhan untuk memperbaiki kelemahan sistem hukum dengan memanfaatkan kekuatan budaya lokal—sebuah kearifan yang sering dilupakan dalam arus globalisasi.

Sesi ini berakhir pada pukul 12.00 WITA, memberi ruang untuk istirahat, shalat, dan makan siang, namun diskusi dalam benak para hadirin tak pernah berhenti.

Sesi 2: Demokrasi dan Etika yang Terkikis

Waktu menunjukkan pukul 13.40 WITA ketika sesi kedua dimulai. Ir. Agus Rahardjo, M.S.M., mantan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), memulai diskusi dengan cerminan menyakitkan tentang bagaimana kelemahan budaya hukum telah menjadi celah bagi tumbuhnya korupsi.

Baginya, setiap pelanggaran kecil yang dibiarkan adalah cikal bakal dari kekuasaan yang menyimpang.

Kemudian, Airlangga Pribadi Kusman, Ph.D., dari Universitas Airlangga, memaparkan dengan rinci bagaimana budaya hukum berdampak pada kualitas demokrasi di Indonesia.

Dalam demokrasinya, hukum bukan hanya perangkat untuk mengatur, tapi juga pelindung yang menjaga etika dari kekuasaan yang korup.

Advokat Mappinawang, S.H., dan Danang Widoyoko dari Indonesia Corruption Watch (ICW) menambah kedalaman diskusi dengan perspektif kritis tentang peran masyarakat sipil dalam mengawasi praktik hukum.

Di akhir sesi, Titi Anggraini, S.H., M.H., dari Universitas Indonesia, menutup dengan satu pesan kuat: integritas dalam penyelenggaraan pemilu adalah ujung tombak untuk memperkuat budaya hukum yang kian rapuh.

Diskusi masih berlangsung, pertanyaan tentang masa depan etika dalam berbangsa dan bernegara tetap menggema.

Di luar sana, korupsi dan pelanggaran hukum mungkin masih bergentayangan, tetapi harapan tetap ada—bahwa sinergi antara hukum dan etika dapat memulihkan kembali moralitas yang tengah pudar.

Acara ini hanyalah awal dari serangkaian diskusi panjang, yang akan terus digelar di kota-kota lain seperti Ambon, Pontianak, Kupang, dan Medan.

Sebuah perjalanan moral yang diharapkan dapat membawa bangsa ini kembali ke jalan yang benar, dengan Pancasila sebagai cahaya yang tak pernah padam.

Exit mobile version