Kementerian Kesehatan “KO”, Menghadapi Sanksi Hakim.

foto: diperagakan model, istimewa.

EKSEKUTIF.id –Kementerian kesehatan, tidak berdaya menghadapi keputusan hakim.

Dan akhirnya, “KO” sampai hari ini setelah secara sustainable  hakim menjatuhkan sanksi penjara terhadap perkara penyalahguna narkotika untuk diri sendiri.

KO adalah singkatan dari Knockout, merupakan  suatu kondisi kemenangan dalam beberapa olahraga beladiri full-contact, seperti tinju, kickboxing dan lain-lainnya.

Seorang petinju dinyatakan kalah KO jika dia terjatuh akibat pukulan, dan tidak mampu bangkit atau merespon pertanyaan wasit sampai dengan hitungan ke-10, atau sampai dengan hitungan ke-20 jika petinju tersebut jatuh terlempar sampai ke luar ring.

 

Kementerian Kesehatan secara yuridis adalah leading sector pembuatan UU narkotika dan Menkes disebut sebagai “Menteri”-nya narkotika.

Sebagai leading sector pembuatan UU narkotika yang menggunakan pendekatan kesehatan, mestinya kemenkes tahu “irisan” masalah narkotika.

Soal “irisan” ini, baik penyalahgunaan narkotika dari sumber legal maupun illegal, memahami bahwa penyalahguna narkotika adalah orang sakit ketagihan narkotika.

Catatan “pinggir”nya adalah:  Tujuan penanganan penyalah guna narkotika harus dibedakan dengan pengedar, khusus penyalah guna ditangani dengan pendekatan kesehatan sedangkan pengedar ditangani dengan pendekatan hukum.

Rumusan tujuan UU narkotika kan, sudah jelas. Lugas. Terang benderang. Masyarakat perlu dicegah, jangan sampai menjadi penyalahguna narkotika. Bahwa,  para penyalah guna dijamin mendapatkan upaya rehabilitasi, sedangkan pengedarnya diberantas.

Faktanya, hingga hari ini, hakim dalam memeriksa perkara penyalah guna atau pecandu menggunakan dasar hukum yang bertentangan dengan tujuan UU narkotika.

Eng-ing-eng. Hakim tidak melaksanakan kewajiban untuk menggunakan kewenangan absolut untuk menjatuhkan sanksi rehabilitasi.

Akibatnya, lapas menjadi over capacity, terjadi penyalahgunaan dan peredaran narkotika di dalam lapas, sejumlah pengawai lapas di pecat karena terlibat peredaran narkotika.

Prevalensi penyalah guna naik tak terkendali, masalah narkotika makin besar, meskipun pengedarnya banyak ditangkap dan banyak barang bukti narkotika yang disita dan dimusnahkan.

Program pemerintah yang digawangi Kemenkes, kemenkes dan BNN dalam pengendalian prevalensi penyalah guna narkotika menjadi tidak berdaya.

Sebut saja : pertama,  program wajib lapor ke IPWL (Institusi Penerima Wajib Lapor) yaitu rumah sakit yang ditunjuk oleh menteri kesehatan agar penyalah guna  mendapatkan perawatan agar sembuh / pulih.

Program tersebut kondisinya antara ada dan tiada, antara hidup dan mati. Rumah sakit yang ditujuk oleh menteri kesehatan diseluruh indonesia, hampir semuanya tiarap.

Kedua, program penyembuhan sakit adiksi ketergantungan narkotika yang masuk dalam domain kesehatan jiwa juga tidak menunjukkan perkembangan yang mengembirakan.

Kementerian kesehatan, mestinya tidak langsung “KO” dan menyerah ketika hakim menjatuhkan sanksi penjara.

Paling tidak berargumen atau memberikan perlawanan bahwa penyalah guna itu orang sakit kecanduan narkotika “tidak masuk akal sehat” kalau orang sakit adiksi dan gangguan mental kejiwaan dijatuhi sanksi penjara.

Padahal UU narkotika memberikan sanksi alternatif bersifat wajib,  berupa sanksi rehabilitasi, sanksi rehabilitasi statusnya sama dengan sanksi penjara.

Kalau begitu kenapa hakim menjatuhkan sanksi penjara ? Saat ini lebih dari 42 ribu penyalah guna yang dipenjara. Ini dipastikan malpraktek penjatuhan sanksi.

Sebagai menterinya narkotika menkes bisa menggugat hakim, kalau hakim menjatuhkan sangsi penjara maka banyak dampak buruk yang terjadi.

Disamping penyalah guna tidak sembuh,  penyalah guna akan menjadi residivis penyalahgunaan narkotika sepanjang hidupnya.

Orang tua juga dirugikan baik kerugian moriil maupun materiil, bangsa dan negara juga dirugikan karena menghasilkan generasi hippies kayak Amerika masa lalu.

Kementrian kesehatan, melalui bagian hukum juga dapat mengingatkan hakim yang mengadili perkara penyalahgunaan untuk diri sendiri tentang :

Pertama, hakim diberi kewenangan absolut “dapat” menjatuhkan sanksi rehabilitasi meskipun terdakwa terbukti bersalah maupun tidak terbukti bersalah (pasal 103).

Kedua, Penggunaan kewenangan absolut dimaksud untuk menjamin tujuan UU tercapai (pasal 4).

Ketiga, hakim sebelum menjatuhkan sanksi diberi kewajiban hukum (pasal 127/2) untuk memperhatikan :

-Kondisi terdakwa penyalah guna, seberapa parah kondisi ketergantungan dan gangguan  mental kejiwaannya.

Oleh karena itu hakim memerlukan keterangan  ahli kesehatan yang memeriksa kondisi kesehatan dan kejiwaan dari penyalah guna narkotika yang sedang menjalani pemeriksaan  dipengadilan.

Keterangan ahli kesehatan ini yang dibutuhkan hakim agar hakim tidak sembarangan menjatuhkan berapa lama sanksi rehabilitasi dijatuhkan agar penyalah guna sembuh/pulih.

Apabila penyalah guna untuk pertama kali menggunakan narkotika maka tergolong korban penyalahgunaan narkotika.

Secara fisik kondisi kesehatan penyalah guna pertama belum kecanduan, hanya gangguan mental kejiwaan akibat penggunaan narkotika untuk pertama kali akibat dibujuk, ditipu, dirayu, diperdaya atau dipaksa menggunakan narkotika.

Secara yuridis pecandu dan korban penyalahgunaan narkotika, juga wajib menjalani rehabilitasi (pasal 54). Kewajiban hukum penyalah guna untuk melapor ke IPWL (Institusi Penerima Wajib Lapor) yang ditunjuk Menteri Kesehatan agar sembuh.

Berdasarkan pasal 55  penyalah guna atau pecandu wajib melaporkan diri ke IPWL untuk mendapatkan penyembuhan melalui proses rehabilitasi.

Kalau sudah melapor ke IPWL atau dilaporkan oleh keluarganya berdasarkan pasal 128 status kriminalnya berubah secara yuridis menjadi tidak dituntut pidana.

Dalam hal demikian hakim tidak menjatuhkan sanksi tetapi menetapkan terdakwanya menjalani rehabilitasi.

Menggunakan kewenangan absolut hakim dapat menjatuhkan sanksi rehabilitasi (pasal 1/13) sesuai tujuan UU.

Des secara de jure maupun teknis pemeriksaan penyalah guna yang terbukti maupun yang tidak terbukti bersalah dijatuhi sanksi rehabilitasi

Nyatanya selama satu dasawarsa, berlakunya UU no 35 tahun 2009, kewenangan absolut hakim untuk menjatuhkan sanksi rehabilitasi “tidak pernah” digunakan.

Kenapa ya ? Ah aku ndak ngerti coba tanya pada rumput yang bergoyang.

baca juga: majalah eksekutif cetak — edisi terbaru — klik ini

 

 

 

 

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Pasang Iklan? Chat Sekarang